Kamis, 11 Juli 2013

My Cerpen : Mutiara Hitam Dari Timur



Mutiara Hitam Dari Timur

            Ocean Kulganiawilsih Amarajingga Riddict , atau yang biasa disapa Ocean, sangat menyukai lautan. Menurutnya lautan itu menarik, tempat biota-biota laut yang unik nan cantik. Ocean lahir di Lombok, surganya lautan yang elok. Hobi Ocean tak lain dan tak bukan adalah menyelam atau yang lebih dikenal dengan diving.
            Ayah Ocean berasal dari Selandia Baru atau yang lebih popular dengan nama New Zealand. Beliau jatuh cinta pada ibu Ocean saat melancong ke Lombok. Menurut beliau, Indonesia itu sangat menarik. Terutama pada lautan dan jejeran pulau-pulau yang ada serta dengan berbagai agama, suku, ras, dan kebudayaan yang saling menghormati.
            Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar didunia. Antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Ocean sangat bersyukur Indonesia adalah negara maritim, kalau tidak, ia tak akan mungkin lahir ke dunia ini karena kedua orang tuanya bersatu karena hal tersebut.
            Akhir pekan ini, adalah akhir pekan yang ditunggu-tunggu oleh Ocean. Papanya berjanji akan membawanya berlibur ke Papua. Disana Ocean akan berlibur ke Rumah Om Basta. Om Basta bekerja dibidang penelitian biota laut dan beliau ditempatkan di Papua. Beliau pernah mengirimkan foto pantai yang sangat indah pada Ocean. Om Basta menyebutnya sebagai Pantai Hitam. Sesuai dengan namanya, keunikan dari pantai itu berasal dari bebatuan cantik berwarna hitam di sepanjang pantai tersebut. Ocean semakin tidak sabar untuk menunggu Hari Sabtu.
            Ocean jadi teringat akan liburannya dua tahun yang lalu saat di kampung halaman papanya di daerah suburban bernama New Lynn, di Auckland Barat. Auckland adalah kota pelayaran. Tak khayal disini banyak sekali pantai yang indah. Oh, itu adalah liburan yang paling menyenangkan yang pernah ia rasakan. Akankah liburannya kali ini sangat menyenangkan sama seperti di Auckland? Untuk itu Ocean belum tahu. Yang jelas saat ini ia harus mempersiapkan segalanya dengan matang.
            Hari Sabtu pagi yang cerah saat burung-burung berkicau menyanyikan lagu semangat. Ocean yang sudah menyiapkan barang-barang liburannya itu langsung menuju ke kamar kedua orang tuanya.
            “Papa, mama ayo bangun!”
            “Aduh, anak gadis mama. Pagi-pagi seperti ini ada apa sih? Lihat, papamu masih               tertidur lelap”
            “Lho, bukannya akhir pekan ini kita sekeluarga hendak pergi ke Rumah Om Basta?           Ayo cepat bersiap, aku sudah tidak sabar.”
            “Iya-iya sayang. Tapi ini masih jam lima pagi. Sudahlah, kamu tunggu di dapur.                 Sebentar lagi kita sarapan bersama.”
            Ocean hanya bisa menelan kekecewaannya saat itu. Namun setelah mereka sekeluarga sarapan, semangat gadis berusia tiga belas tahun itu kembali berkobar. Keriangan hatinya dapat dilihat saat ia bersenandung-ria di mobil ketika menuju bandara.
            Tak terasa kini ia sudah berada di dalam pesawat. Perjalanan selama tiga jam bagaikan terasa tiga hari untuknya, lama sekali. Tak heran jika selama perjalanan, Ocean selalu menggerutu. Kedua orang tua Ocean hanya bisa menggeleng kepala melihat kelakuan anak semata wayangnya itu.
            “Horeee…!!! Ocean sudah di Papua!” Itulah teriakan Ocean saat sudah sampai di Bandara Sentani. Ketika itu Om Basta sudah menunggu di bandara. Ketika Ocean melihat Om Basta, gadis itu berlari dan saat sampai, ia langsung memeluk laki-laki paruh baya itu. Tapi ternyata Om Basta tidak sendiri, beliau mengajak Sean, anak laki-laki semata wayangnya.
            Sean berusia tiga tahun lebih tua daripada Ocean. Dulu ketika Om Basta masih belum dipindah tugaskan ke Papua dan masih menjadi tetangga Ocean, gadis itu sering bermain dengan Sean. Bagi Ocean yang kala itu berusia lima tahun, Sean adalah kakak laki-laki yang baik yang tak pernah ia punya. Tapi setelah kepindahan itu, Ocean dan Sean jadi jarang berkomunikasi hingga akhirnya putus komunikasi sama sekali. Hanya Om Basta yang selalu berhubungan dengannya, itu juga karena Om Basta mempunyai hobi yang sama dengannya.
            Ocean menjadi malu sendiri di hadapan Sean. Mungkin itu karena Ocean baru melihat Sean pertama kalinya setelah delapan tahun tak bertemu. Sean menatap Ocean dengan perasaan geli. Itu karena sikap adik kecilnya yang dulu tidak pernah berubah, yaitu selalu kekanakan. Setelah sambutan Om Basta di bandara itu, mereka semua melanjutkan perjalanan menuju Rumah Om Basta.
            Di perjalanan, Ocean mengoceh tentang Pantai Hitam yang fotonya pernah dikirimkan Om Basta kala itu. Kata Om Basta langsung, pantai itu berada 100 meter dari pintu masuk Desa Tablanusu. Desa Tablanusu adalah desa mungil yang dihuni oleh orang Papua yang ramah. Rumah-rumah penduduk dari kayu juga berjejer rapi di desanya. Tak ada lalu lalang kendaraan juga membuatnya tiada polusi, udara jernih akan memenuhi paru-paru. Om Basta berjanji untuk menemani Ocean menyelam di pantai itu keesokan harinya.
            Satu hari cepat berlalu. Kini, Ocean sudah berada di Pantai Hitam. Sebenarnya Pantai Hitam bukanlah nama aseli pantai itu, tetapi itu adalah sebutan dari Om Basta sendiri. Dalam pikiran Ocean ia berpikir, bahwa beruntung sekali ia menjadi anak Indonesia karena mempunyai negara yang mempunyai banyak sebutan yang membanggakan, salah satunya Negara Maritim.
            Om Basta menyewa satu buah kapal boat untuk menyelam. Ocean begitu terkejut ketika tahu Sean juga ikut menyelam. Setahu Ocean, Sean sama sekali tidak suka berenang. Tapi yang ia lihat, kini Sean sangat ahli dalam hal tersebut. Sebelum Ocean menyelam, ia sudah terlebih dahulu menyiapkan kamera bawah lautnya. Ia ingin momen-momen indah di bawah laut itu diabadikan.
            Sungguh keindahan dunia yang tiada tara. Warna-warna cantik dari berbagai terumbu karang, ikan-ikan lucu nan imut, serta tumbuhan-tumbuhan laut yang sangat mempesona, merupakan anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Rasanya, Ocean ingin hidup di bawah sana. Andai ia bisa menciptakan negeri bawah air, pasti akan ia ciptakan. Berkhayal tentang menjadi putri kerajaan bawah air, memang sangat menyenangkan. Setelah puas memfoto berbagai keindahan bawah laut, Ocean sudah harus kembali ke kapal. Pasokan tabung oksigennya sudah hampir habis.
            Setelah mandi dan berganti baju, Ocean langsung mengambil tempat di bebatuan besar pantai. Menikmati indahnya matahari terbenam tak kalah indahnya dengan menikmati keelokan bawah laut. Tanpa ia sadar, Ocean melentangkan tangannya dan menutup mata. Ia biarkan sapuan angin sepoi-sepoi menyentuh paras cantiknya. Tenang dan nyaman. Rasanya ia ingin sekali tinggal lebih lama lagi di Papua. Namun sayang, liburan awal semester sekolahnya hanya dua minggu, itupun minggu pertama sudah ia habiskan untuk pariwisata di Lombok.
            Sean duduk di sebelah Ocean. Wajah Sean yang Indonesia-Selandia Baru itu, nampak memancarkan rasa kasih sayang. Di tepuknya pundak Ocean dengan perlahan, membuat gadis itu reflek membuka mata.
            “Eh, Kak Sean.”
“Kamu sedang meinkmati matahari terbenam ya, sampai-sampai aku datang kamu baru sadar. Memang pemandangan disini sangat indah. Aku jadi suka menyelam karena pantai ini.”
            “Jadi kakak sudah pernah kesini berkali-kali?”
“Bukan hanya berkali-kali, tapi ratusan kali. Oh iya, disini aku mempunyai teman orang Papua aseli. Namanya Samudera, anak-anak biasa memanggilnya Sam. Aku ingin mengenalkanya padamu, dia sahabat dekatku disini. Kurasa sebentar lagi ia akan ke sini. Dia berumur lima belas tahun, Sam biasa menangkap ikan jika sudah sore begini.”
            Akhirnya orang yang ditunggu-tungu sudah datang. Ocean sangat senang sekali mendapat teman baru. Sore hari nan indah itu dihabiskan mereka untuk bersenang-senang. Sean, Ocean, dan Sam, ketiganya menulis masing-masing keinginannya di selembar kertas. Kertas itu lalu dimasukan ke dalam kayu yang sudah dilubangi terlebih dahulu tengahnya. Setelah semua beres, kayu itu dihanyutkan ke laut, berharap Tuhan akan menjabah impian mereka itu.
            Hari ketiga di Papua, digunakan Ocean dengan baik. Kini ia sudah mulai akrab kembali dengan Sean dan Sam. Suatu ketika, saat mereka sedang menangkap ikan di Pantai Hitam, Sean mengatakan hal yang unik mengenai nama mereka masing-masing. Sean, Ocean, dan Samudera, sama-sama berartikan lautan. Mereka rasa, lautanlah yang menyatukan mereka menjadi seseorang yang dekat satu sama lain.
            Bermula dari Ocean yang suka menyelam, Sean yang jatuh cinta dengan keindahan Pantai Hitam, lalu Sam yang sudah bersahabat dengan lautan dari kecil. Dan satu hal lagi yang tak luput, mereka bertiga memulai persahabatan itu dari Pantai Hitam. Bagaikan mutiara hitam dari timur saja persahabatan ketiganya. Sangat berharga. Mungkin, Pantai Hitam memiliki tempat tertentu di hati ketiganya karena telah menyatukan persahabatan yang indah itu.
            Ikrar janji persahabatan mereka terucap ketika hari keempat di Pantai Hitam. Meskipun mereka berbeda suku, ras, agama, dan kebudayaan antar golongan, ketiganya sangat menjunjung persahabatan. Sean yang lebih tua dari Ocean dan Sam, sangat mengerti hal itu. Ia sangat menyayangi kedua sahabat hidupnya itu. Menurut Sean pribadi, Pantai Hitam mempunyai daya mistis yang sangat eksotik nan indah, sehingga siapapun yang kesana pasti akan jatuh cinta dibuatnya.
            Menyelam di Pantai Hitam, mencari ikan dengan menggunakan sampan, makan-makanan tradisional Papua, melihat tari tradisional pertunjukan Papua, merupakan kenangan yang tak akan pernah Ocean lupakan. Kini ia bisa menjawab pertanyaan di hatinya dulu, akankah liburannya kali ini sangat menyenangkan sama seperti di Auckland? Dan jawabannya adalah sangat menyenangkan.
            Tak terkecuali dengan Sam, ia sangat bahagia bisa berteman dan bersahabat dengan Ocean dan Sean. Kini melalui Pantai Hitam milik pulaunya itu, ia bisa membuktikan bahwa Indonesia sangat dicintai oleh banyak orang dari berbagai negara. Tak akan ia sia-siakan hidup di bumi Indonesia. Sam sangat bercita-cita untuk memperkenalkan keelokan pantai-pantai di seluruh Indonesia pada dunia.
            Hari kelima di Papua merupakan hari terakhir Ocean di sana. Empat hari lagi, ia harus masuk sekolah. Itu berarti, esok ia harus sudah kembali ke Lombok.
“Hei, aku tak akan lupa pada kenangan kita di sini. Setiap akhir pekan, aku akan mengirimi kalian surat. Di Lombok, pasti aku akan merindukan kalian." Ucap Ocean
“Ya, jangan lupakan Sam. Sam pasti juga rindu sama kamu orang.” Lanjut Sam.
“Benar kata Sam, Ocean. Kami pasti merindukanmu.” Sambung Sean.
            Mereka benar-benar menikmati momen-momen terakhir kebersamaan kala itu. Ketiganya berharap, persahabatan itu tak lekang oleh waktu dan surat impian itu juga benar-benar dijabah oleh Tuhan. Sebenarnya tanpa mereka sadari, ketiganya memohon permohonan yang sama, yaitu :
            “Tuhan, jadikanlah persahabatan ini indah selamanya. Seindah Pantai Hitam…”

TAMAT.

My Cerpen : Binar-Binar Bintang Di Mata Mega


BINAR-BINAR BINTANG DI MATA MEGA

            Sahabat. Itulah kata yang tidak begitu Mega mengerti setelah ia kehilangan salah satu sahabatnya. Semenjak ia ditinggal pergi oleh Kafka, sahabatnya, Mega memang selalu menutup diri dari hal pergaulan. Bagi Mega, sahabat adalah seseorang yang selalu mengerti dan tak mungkin meninggalkannya. Dan semua itu terdapat pada diri Kafka. Baginya Kafka adalah sesosok kakak laki-laki yang tak pernah ia punya. Kafka selalu ada untuk Mega kapanpun dan dimanapun Mega ingin bercerita tentang isi hatinya. Tapi kepergian Kafka untuk selamanya, telah mengubah pikiran Mega bahwa sahabat adalah orang yang sama seperti yang lain. Tidak perlu di istimewakan karena nantinya ia juga akan meninggalkannya.
            Pagi itu di SMU Pekerti Luhur, suasana masih sepi. Hanya terdapat beberapa anak yang sedang bermain bola di lapangan becek karena terguyur hujan semalaman. Dari ayunan pohon, Mega menatap anak-anak itu. Pikirannya kosong entah kemana. Ditambah lagi, hembusan angin musim penghujan membuat mukanya pucat pasi karena kedinginan. Mega memang tak mengenakan jaket ataupun sweter. Yang ia inginkan saat itu adalah ketenanngan sebelum dimulainya rutinitas pagi, meskipun udara sedang tak bersahabat.
            Mega baru tersadar dari lamunannya ketika bola menyentuh ujung sepatunya dengan pelan. Saat itu pula, ia melihat Bintang berlari-lari kecil ke arahnya. Mega mengambil bola itu dan menyerahkannya ke Bintang, sesampainya pemuda gagah itu ditempatnya.
            “Terima Kasih, Ga. Lho, kamu kok tidak masuk kelas? Disini udaranya dingin lho. Nanti kamu bisa sakit, apalagi kamu tidak memakai jaket.”
            “Hmm,.. iya. Aku hanya ingin mencari ketenangan saja sebelum pelajaran dimulai. Supaya segar pikiranku. Kamu sama teman-teman kamu juga tidak memakai jaket. Tidak takut sakit?”
            “Hahaha, kami laki-laki sudah biasa. Malah bermain bola saat hujan-hujan atau cuaca seperti ini seru lho. Kalian saja para gadis yang terlalu rentan. Jadinya tidak bisa            menikmati asyiknya bermain saat cuaca gerimis seperti ini.”
            “Ih, kamu ini. Kami bukannya rentan tapi mencegah. Daripada nanti sakit, lebih baik ditunda dulu saja bermainnya. Lagi pula, jarang anak perempuan suka bermain bola.”
            “Ya-ya, terserah kamu.”
            Bintang berlalu seiringnya bel sekolah berbunyi. Begitupula dengan Mega, ia juga beranjak dari ayunan itu. Tapi langkah Mega terhenti tak jauh dari ayunan yang baru saja ia tinggalkan. Ia menoleh ke belakang, menoleh tepat ke ayunan itu. Sekelebat ingatan tentang Kafka yang duduk di situ dengan membaca buku fisika, membayang di pikiranya. Tanpa ia control, sebutir air bening turun menetes dari mata kanannya. Ia menangis. Tanpa pikir panjang ia segera menghapus air mata itu dan berlari ke arah kelas.
            Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Dewanti. Beliau mengajar mata pelajaran kimia. Bu Dewanti memang terkenal sebagai guru paling tegas dan disiplin di SMU Pekerti Luhur. Wajar jika semua anak akan segera masuk ke dalam kelas begitu bel berbunyi dan tidak membuat gaduh bila sang guru mengajar.
            Selama pelajaran, Mega hanya termangu memandang ke luar jendela. Ia melamun memandang hamparan pohon rimbun di halaman sekolahnya. Rasanya, tenang sekali melihat dedaunan dan ranting-ranting pohon itu bergerak melambai di tiup angin. Melihat itu semua, Mega jadi merindukan kehadiran Kafka. Mega tahu kebiasaan sahabatnya itu. Kafka sangat suka sekali dengan ketenangan.  Ia jadi berpikir, apakah Kafka juga merindukannya di alam sana? Entahlah. Semua itu hanya Kafka sendiri dan Tuhan yang tahu.
            Mega kaget mendapat sepucuk surat di lokernya saat ia hendak mengambil buku catatan kimia yang akan dipinjam Santi temannya. Surat itu berwarna krem dengan spidol tinta biru sebagai warna tulisannya. Mega membuka surat itu. Kemudian mata teduhnya membacanya dengan perlahan.
            “Yang Terindah, Mega,.
            Mega. Kau seindah mega bertabur bintang di langit. Namun kini kulihat, binar-binar bintang yang ada di matamu telah sirna. Kau kemanakan mereka? Apakah kau  membuangnya? Ku harap tidak. Jika kau kehilangan binar-binar itu, aku bersedia untuk menjadi penggantinya. Pengganti sebagai binar bintang yang akan bersinar  terang, menerangi setiap langkahmu. Jika kau ingin tahu siapa aku, sepulang sekolah pergilah ke taman sekolah tempat dimana ayunan pohon berada. Disitu kau akan  menemukanku.”
            Itulah isi surat yang dibaca Mega. Sungguh saat itu juga ia menjadi penasaran. Siapakah gerangan yang mengiriminya surat itu? Apakah sebelumnya ia mengenalnya? Apa yang dipikirkan si pengirim surat tentangnya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergulat di pikirannya. Andai waktu berjalan dengan cepat, pasti sekarang ia sudah bertemu dengan pengirim surat itu.
            Jam menunjukan pukul dua siang, itu berarti waktunya pulang sekolah. Dengan cepat Mega berjalan menuju ayunan pohon yang ada di taman sekolah. Dilihatnya sesosok pemuda yang duduk di ayunan itu.
            “Bintang..? Sedang apa kamu di sini, apa kamu yang mengirimi aku surat?”
            “Benar sekali. Jujur saja ya, Ga. Aku tahu kamu sangat sedih atas kematian Kafk karena kecelakaan motor, tapi hal itu jangan membuatmu terus terpuruk. Aku juga       sahabat Kafka, aku juga sedih atas kematiannya. Tapi, aku harus bangkit. Aku yakin, diatas sana Kafka akan sedih melihat kita yang terus bermuram muka karena dia sudah  tiada.”
            “Bintang, asal kamu tahu saja. Aku juga sangat ingin lepas dari rasa sedihku atas    Kafka. Tapi aku tidak bisa. Persahabatan kita bertiga sudah terjalin selama dua belas tahun lamanya, akankah kamu bisa melupakan semua kenangan itu? “
“Aku tahu perasaan sedihmu.Mungkin aku juga tidak akan bisa melupakan kenanangan selama dua belas tahun itu. Tapi apakah dengan bermuram muka setiap lari akan mengembalikan Kafka dari kematian? Tidak Mega, tidak. Kafka tidak akan pernah kembali. Mega, kamu jangan bersedih lagi. Masih ada aku. Aku juga sahabatkamu bukan?”
            “Kamu memang sahabat aku, Bintang. Sahabat jika kamu tidak meninggalkanku seperti Kafka. Dia jahat bintang, dia jahat. Dia berjanji untuk memenangkan lomba debat itu bersama kita, tapi nyatanya dia malah meninggalkan kita.”
“Baiklah jika kamu mau Kafka bersama kita saat lomba. Satu minggu lagi, saat lomba, kupastikan Kafka ikut dalam lomba itu. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Cuaca semakin gerimis. Besok Hari Minggu aku akan ke rumahmu, kita latihan di sana.”
Setelah itu, Bintang meninggalkan Mega diantara butiran-butiran air hujan yang jatuh ke bumi. Mega melihat punggung Bintang yang perlahan kian tenggelam diantara kerumunan anak-anak pulang sekolah yang berlari kecil karena gerimis.
Panas. Entah mengapa hati Mega begitu panas. Melihat ekspresi Bintang yang begitu kesal padanya. Apakah ia telah menyakiti hati Bintang? Mega tidak bisa berpikir dengan jernih. Keputusannya untuk pulang dengan jalan kaki di tengah gerimisnya hujan telah membekukan pikirannya. Sebenarnya ia bisa saja pulang dengan angkot atau bis, tapi cara itu tidak dipilihnya. Ia berharap dengan gerimis hujan yang mengguyur tubuhnya dapat memadamkan hatinya yang panas.
Hari itu adalah Hari Minggu. Bintang menepati janjinya untuk melakukan latihan lomba dabat di rumah Mega. Ia memberitahu Mega bahwa Bu Karin, Guru Bahasa Indonesia mereka, mengijinkan kalau hanya dua orang saja yang mengikuti lomba debat. Awalnya, lomba itu diperuntukan untuk tiga orang, tetapi karena Kafka sudah tiada maka hanya mereka yang mewakili SMU Pekerti Luhur dalam ajang prestasi itu. Sedangkan untuk mencari anggota lain, sudah tidak ada waktu mengingat lomba akan diadakan satu minggu lagi.
Tema debat yang diperlombakan adalah “Veteran Indonesia Menangis Karena Anak Muda Jaman Sekarang.”. Karena tema yang diperlombakan adalah patriotisme, maka mereka harus banyak-banyak membaca buku tentang jiwa kepahlawanan dan sosial. Sebenarnya Mega masih penasaran dengan perkataan Bintang yang akan membawa Kafka kembali pada mereka tapi ia tahu bahwa semua itu tidak mungkin. Ingin rasanya ia menanyakan hal itu pada Bintang tapi kelihatannya ia sedang serius menyiapkan bahan untuk debat.
Hari Minggu itu berlalu dengan cepat. Tak terasa matahari telah berada di ufuk barat. Kala itu mereka berdua telah berada di beranda rumah Mega. Rasanya, sapuan angin sepoi-sepoi yang menerpa muka mereka menghadirkan kembali rasa yang hampir terbuang semenjak kepergian Kafka. Rasa nyaman diantara orang-orang yang menyayangi diri kita apa adanya, membuat hidup ini sangat indah. Itulah yang dirasanakn Mega dan Bintang. Mereka tak ingin hubungan persahabatan mereka yang terjalin selama dua belas tahun, hilang ditelan waktu begitu saja. Kalau bisa, nanti jika masing-masing sudah berkeluarga mereka akan tetap mempertahankan persahabatan diantara keduanya.
Tak terasa hari perlombaan yang ditunggu-tunggu kini sudah hadir di depan mata. Bintang dan Mega berusaha mati-matian untuk menambah skor nilai mereka dalam babak penyisihan agar nantinya lolos ke semi final dan final. Hingga akhirnya babak demi babak dilalui dan sampailah mereka dibabak final.
Puncaknya, kedua anak muda itu sangat tidak setuju atas tanggapan dari perwakilan SMA Bina Karya. Lawan mereka beranggapan bahwa kasus seperti tawuran pelajar dan demo-demo anarkis itu hanya dipicu dari ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan layanan dan fasilitas pada pelajar pada umumnya, sehingga terdapat sejumlah pelajar saling mengejek dan terjadilah tawuran antar pelajar.
“Tetapi kita tidak boleh hanya menyalahkan pemerintah saja. Apalagi itu hanya terpacu pada fasilitas sekolah. Kita juga harus menanamkan sikap patriotisme dan   jiwa kepahlawanan lebih intentsif pada pelajar. Mereka juga harus tahu bagaimanapara veteran dan pahlawan-pahlawan dulu berjuang mati-matian demi kemerdekaan Indonesia. Percuma saja jika fasilitas sudah terlengkapi tetapi pada dasarnya pelajar tersebut tidak mempunyai sikap dan etika yang baik.”
“Benar apa yang dikatakan rekan saya, Bintang. Para pelajar tidak boleh melupakan perjuangan para veteran tersebut. Di saat mereka berfoya-foya dengan uang jajan dan video game sehingga mereka melupakan tugasnya, yaitu sekolah, di pihak lain terdapat  sejumlah veteran yang hidup dengan susah. Mereka harus mengemis terlebih dahulu untuk bisa makan sesuap nasi.”
            Dengan dua jawaban maut itulah, Mega dan Bintang berhasil membawa pulang piala kemenangan dan mengharumkan sekolah mereka. Di sela-sela selesainya perlombaan, Bintang mengajak Mega untuk pergi ke suatu tempat. Mereka berdua pergi ke Taman Segitiga.
            Taman Segitiga adalah tempat dimana Kafka, Mega, dan Bintang bermain bersama ketika SD. Saat Mega bertanya apa yang mau mereka lakukan di taman itu, Bintang hanya tersenyum kecil sambil menunjukan sebuah foto. Itu adalah foto lama. Foto mereka bertiga ketika pertama kali berhasil membawa piala kemenangan lomba debat, meskipun perlombaan itu hanyalah perlombaan satu sekolah saja.
Saat itu mereka bertiga masih duduk di bangku kelas tiga SD. Demi memperingati Bulan Bahasa, kurikulum sekolah mereka mengadakan lomba antar kelas, yaitu lomba debat. Hampir setiap hari mereka selalu latihan di Taman Segitiga itu.
“Ingatkah kamu tentang itu, Ga? Ini yang kumaksud dengan membawa Kafka hadir di engah-tengah kita saat lomba tadi. Dari dulu kita bertiga selalu bersama. Tapi kini        tinggal kita berdua. Jadi dengan foto itu,  aku berharap akan menjadi pelengkap Kafka diantara kita. Sebagai pelengkap penyemangat hari-hari kita. ”
“Bintang,.. Aku tidak menyangka kamu masih menyimpan foto itu. Foto itu adalahkenangan terindah yang pernah terjadi diantara persahabatan kita sewaktu SD.” Ucap Mega sambil menatap dalam-dalam foto itu, matanya yang teduh nampak berkaca-kaca.
“Ya, aku cuman ingin mengembalikan senyumu sama seperti dulu. Sama ketikaKafka belum meninggal dunia. Aku hanya ingin kamu sadar, bahwa masih ada aku. Aku sadar kamu lebih sering mencurahkan isi hati kamu pada Kafka daripada denganku. Aku hampir saja sempat berpikir, bahwa hanya Kafka yang menjadi sahabatmu, tidak denganku. Tapi kenyataannya aku juga sahabatmu, Ga. Kita   bersahabat.” Ungkap Bintang lirih.
“Aku,..Aku minta maaf. Mungkin kamu benar, aku hanya terpaku pada Kafka tanpa memikirkan perasaanmu. Mulai sekarang aku berjanji, tidak akan ada rahasia diantara kita. Kita sahabat selamanya, janji?” lanjut Mega lagi sambil menunjukan kelingkingnya.
Hal itu dibalas Bintang dengan menggaet kelingking Mega dengan kelingking miliknya. Tak lama kemudian, tawa meledak diantara keduanya. Dan kini binar-binar bintang di mata Mega telah muncul kembali, sama seperti dulu.
“Tuh kan, apa aku bilang. Aku Bintang yang akan mengembalikan binar-binar        bintang di matamu. Benar bukan? HAHAHAHAHAHAHA..!!!”
Senja kala itu, sungguh membawa kedamaian bagi Mega dan Bintang. Mereka duduk di rumput taman sambil menatap indahnya matahari terbenam. Warna langit begitu indahnya. Biasan warna merah keemasan, sungguh merupakan lukisan Tuhan terindah untuk dunia. Saat semilir angin mendera wajah mereka dengan lembut, keduanya menutup mata. Mereka mengucapkan suatu permohonan dalam hati masing-masing.
“Tuhan, jadikan persahabatan ini indah selamanya. Dan satu lagi, semoga kamu      bahagia di sana,….. Kafka…”
TAMAT.

My Cerpen : Black Angel


Black Angel

    Bandung, 19 Juli 1995...    Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke tujuh. Untuk merayakannya aku, mama, papa piknik di sebuah taman yang tak jauh dari apartemen kami. Tak lupa papa dan mama membawa barang kesayangan mereka, kamera. Aku memang sangat menyukai foto-foto hasil jepretan mama dan papa. Maklum mama dan papa adalah seorang fotografer handal saat itu. Akupun jika besar nanti berencana menjadi seperti mereka, seorang fotografer.
    Hari itu aku diajari cara memfoto yang baik oleh mama dan papa dan sebagai objeknya mama dan papa sendiri. Ku hitung sampai tiga untuk memulai memfoto. Pada saat hitungan ketiga, tiba-tiba dari arah jalan raya ada sebuah truk melesat ke lajur kanan dan menabrak pembatas jalan, truk itu langsung mengarah kepada mama dan papa.
    "Jepreet...!!!" kufoto kejadian mengerikan itu. Kejadian mengerikan disaat truk itu menabrak mama dan papa hingga tewas. Tubuhku terpaku pilu, air mataku menetes dengan deras persis seperti hujan yang turun setelahnya. Bagaikan tersambar petir ribuan watt aku tak kuasa menahannya, aku pingsan. Hanya setelah itu, aku mendengar samar suara sirine mobil ambulance yang membawaku ke rumah sakit.
    Aku membuka mata. Syukurlah aku hanya bermimpi buruk. Namun takdir berkata lain, mimpi buruk itu menjelma menjadi nyata. Aku bangkit dari ranjang rumah sakit, aku bertanya pada suster yang menjagaku sedari tadi. "Suster, mama sama papa ada dimana?" tanyaku cemas. "Adik sayang... maaf ya tapi mama sama papa adik sudah meninggal, sekarang jenazahnya ada di kamar mayat di Bangsal Anggrek." jawab suster itu. Mendengar semua itu aku menangis. " Suster antarkan Angel ke mama sama papa...hiks..hiks" pintaku. Dengan sigap suster itu menuntunku ke keluar UGD.
    Dengan suster yang mengantar di belakangku, aku berlari cepat ke kamar jenazah itu. Saat aku buka pintu kamar itu, ada eyang uti yang menangis karena kepergian kedua anaknya. "Eyang..." panggilku kepada wanita yang sudah tua itu. "Angel...huhuhu" dipeluknya aku dengan erat seolah-olah ia takut aku pergi meninggalkannya juga. Aku menatap jenazah mama dan papa, aku peluk untuk yang terakhir kalinya. Begitu dingin tapi sangat nyaman. Pelukan yang menyisakan bercak darah di mantel yang kukenakan. Rasanya ingin kuulang hari dan kuperbaiki semua kenakalanku pada mama dan papa.
    Saat pemakaman, langit begitu mendung, hujan tak juga reda. Ku harus menyaksikan kedua orang yang paling kusayang terbungkus kafan dan dikubur di dalam perut bumi. Aku hanya merasakan kasih sayang mereka selama tujuh tahun, apakah salah jika aku meminta lebih? Aku menangis dalam pelukan eyang uti. Mulai sejak itu, aku berjanji akan membahagiakan eyang uti karena beliaulah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini dan juga aku akan meneruskan cita-citaku semula, menjadi fotografer profesional.Kini aku tidak lagi tinggal di apartemen mama dan papa. Aku diboyong eyang uti ke mensionnya yang ada di daerah Bandung Selatan.
       Bandung, 1 Januari 2012...    Tahun Baru yang sangat menyenangkan bersama dengan teman-teman kampusku yang lain. Kini aku berkuliah di Universitas terkemuka di Bandung jurusan Administrasi. Bukannya aku melupakan cita-citaku menjadi seorang fotografer tapi itu semua kulakukan demi eyang uti. Kematian tragis mama dan papa membuatnya tidak ingin aku menjadi seorang fotografer. Yah, bagaimanapun juga di dunia ini hanya beliau yang kumiliki satu-satunya, aku tidak ingin membuatnya kecewa dengan keputusanku. Meskipun begitu aku tetap menyukai dunia fotografer. Dengan sedikit tabunganku aku membeli sebuah kamera digital untuk menyalurkan hobiku memfoto. 
    Tapi percaya atau tidak, tanganku ini seakan membawa kunci kematian bagi orang yang kufoto. Waktu itu aku memfoto Ibu Laras tetanggaku dengan anaknya yang berusia tiga tahun. Sesaat setelah kufoto, esoknya terdengar bahwa Ibu Laras dan anaknya meninggal dunia karena tertabrak mobil saat menyebrang jalan menuju supermarket. Kemudian Pak Udin tukang ojek langganan eyang uti juga meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas setelah ia memintaku untuk memfotonya. Tak Hanya itu, bahkan Pleky anjing kesayangan Mirna, sahabatku, juga meninggal karena keracunan makanan setelah ku foto. Ku pikir semua itu hanyalah kebetulan belaka, tapi hingga suatu hari...
    "Angel sudah lama nunggunya?" tanya Revans cowok blasteran Inggris itu. "Oh, enggak kok, Vans. Batheway, loe ada apa mengajak gue ketemuan di cafe ini? Enggak biasa-biasanya." balasku. "Hmm...sebenarnya... Angel, sudah lama gue memendam rasa ini sama elo. Gue Suka dan cinta sama loe. Angel, mau nggak loe jadi pacar gue?" tanyanya penuh dengan harap. Aku nggak percaya apa yang barusan kudengar. Jujur, dari dulu aku memang suka sama Revans, tapi mendengar dia menembak aku, bener-bener seperti mimpi. "Hmm... Revans.. aku.. aku mau jadi pacar kamu." jawabku dengan senyum mengembang. Mendengar jawabanku terlihat di wajah Revans ekspresi wajah yang gembira.
    Tak sampai disitu saja, lima bulan seetelahnya aku dan Revans bertunangan. Hari itu menjadi hari yang membahagiakan dalam hidupku. Tapi semua itu tak berlangsung lama. "Angel, loe kan pintar memfoto, coba dong foto gue. Gini-gini gue mantan cover boy lho." pinta Revans. Mendengar permintaannya itu rasanya aku nggak sanggup untuk melakukannya. Aku takut kejadian buruk itu menimpanya. Tapi ia memaksa, ia ambil kameraku dan ia menyerahkannya padaku. Tanpa disengaja aku menekan tombol kamera dan memfoto wajahnya. "Ah, jelek. Ayo dong, foto gue yang bagus,  lihat gue sudah pose nih." sahutnya. Aku menangis, tak percaya apa yang telah kulakukan. "Loh, Angel. Loe kok malah nangis? Loe kenapa? Eh, Angel, loe mau kemana? tunggu Angel!!!" tanyanya. Aku berlari meninggalkannya di cafe. Aku tak tahu apa yang terjadi pada Revans setelah ini, aku takut. Aku takut kehilangan orang yang kusayang untuk kedua kalinya. Tanpa kusadari ternyata Revans mengejarku di belakang.
    Aku terus berlari hingga menyebrang jalan raya. Tak kupedulikan suara klakson dari mobil-mobil dan motor yang marah padaku karena mereka hampir menabraku saat aku asal menyebrang. Tapi ternyata benar, tanganku ini memang membawa kunci kematian. Revans tertabrak mobil saat mengejarku di jalan raya. Aku menoleh kebelakang dan kudapati tubuh Revans tergulai lemas tak berdaya di jalan. Keningnya bercucuran darah segar. "Revaaaaaaaanss............!!!" teriakku sambil berlari menghampirinya. Aku jahat, aku yang menyebabkan Revans seperti itu. Aku benci diri ini. Aku menangis diantara krumunan orang yang mencoba menolongku dan Revans.
    Ambulance akhirnya datang, paramedis mengangkat tubuh Revans ke mobil dan aku ikut serta bersamanya. "Revans... bangun... Loe nggak boleh ninggalin gue sendiri...Revans... bangun..." pintaku sambil mengobrak-obrak tubuhnya. "Angel... gue sayang banget sama elo...meskipun gue nggak ada nantinya, gue tetep ada di samping elo. Walaupun begini jadinya, gue sama sekali nggak nyesel ketemu sama elo. Karena elo malaikat kecil di hati gue untuk selamanya..." jawabnya sambil menghembuskan nafas terakhirnya. "Revaaaans........." teriakku menangisi kepergiaannya.
    Hari itu adalah hari pemakaman Revans, langit sama menangisi kepergiaannya sama sepertiku. Tapi kubiarkan senyumku menari di udara, biar semua tahu, kematian tak mengakhiri cintaku padanya. 
    Kukemudikan mobil dengan kencang, kuhentikan ditengah-tengah jembatan. "Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapa? Disetiap aku memfoto seseorang, orang itu kemudian meninggal, kenapa?" teriaku diantara derasnya air hujan yang mengguyur. Aku bagaikan Black Angel, malaikat hitam penjabut nyawa. Aku benci diri ini, aku benci. Yang ada di bawahku saat ini adalah sungai. Ingin rasanya aku loncat kebawah dan mengakhiri semua penderitaanku. Tapi rencana itu kuurungkan karena eyang uti. Eyang utilah alasanku satu-satunya untuk hidup di dunia ini. Aku berjalan menjauh dari pinggir jembatan. Kulihat dari kejauhan ada seorang pemuda yang berdiri di pembatas jembatan, rasanya pemuda itu ingin terjun bebas ke bawah.
    "Hey tunggu, apa yang mau loe lakuin di situ" teriaku mencegahnya kalau-kalau ia ingin lompat bunuh diri. Pemuda itu menoleh ke arahku. Astaga, wajah pemuda itu mirip sekali dengan Revans. Apa aku tidak salah lihat? pikir benakku. Aku segera berlari menghampirinya. Benar saja, jika aku terlambat semenit untuk menangkap kakinya mungkin ia sudah berhasil terjun bebas ke bawah sungai itu. "Heh, loe apa-apaan sih? Mau mati loe?" tanyaku padanya. Ia hanya menatapku dengan dingin. Tapi sungguh wajahnya sangat mirip dengan Revans, ah tidak, bukan hanya mirip tapi kembar. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Aku yang bingung segera membawanya masuk ke dalam mobil.
    "Hai, kamu tidak apa-apa? Nama loe siapa?" tanyaku pada pemuda itu saat ia mulai sadar. "Gue di mana nich? Arggh... kepala gue pusing banget." keluh pemuda itu saat ia mencoba untuk bangkit. "Tapi, gue mau bilang terima kasih sama elo, karena uda nyelamatin hidup gue. Jujur gue tadi nggak sadar mau ngelakuin apa. Nama gue Ryan Fadillah, tapi gue biasa di panggil Ray." jawabnya kemudian. "Ryan Fadillah? Maksud loe RF? Loe RF kan? Ray Fay, DJ dari Cafee 109 Mars itu kan?" tanyaku terkejut pada pemuda itu. "Yeah... Loe adalah orang satu-satunya yang tau wajah asli gue. Karena biasanya gue nge-DJ pake topeng, males gue nunjukin muka asli, habisnya gue nggak suka di kerubutin orang banyak saat di publik." jawabnya santai. "Gue... Angel." jawabku singkat. "Btw, gimana loe bisa tahu kalau gue itu RF?" tanyanya penasaran. "Gue fotografer, dulu gue diminta sama Manager 109 Mars buat memfoto wajah asli elo. Katanya sayang, wajah cakep-cakep tapi enggak di expose." jawabku
    Malam itu, Ray kubiarkan menginap di rumah. Untungnya eyang uti sedang tidak ada di rumah, karena beliau paling tidak suka ada cowok yang menginap di rumah cewek. Paginya, aku mengantarkan Ray ke apartemennya. Bukan main, apartemen Ray bagaikan istana kerajaan sangking besarnya. "Loe... anak orang kaya ya..?" tanyaku polos. "Hahahah.... astaga loe tuch... kocak banget. Baru kali ini ada cewek yang nanya secara terang-terangan ke gue. Biasanya cewek yang gue kenal itu pura-pura modis, borju, dan segala macamlah biar gue bisa jajanin." jawabnya sambil tawa meledak. "Ih, apaan sich, kan gue cuma mau nannya." sahutku rada kesal. "Yeah... gue anak dari pengusaha furniture yang sukses di Amrik. Nama bokap gue... Andrew Fadillah. Jujur, muka loe itu, mirip banget sama nyokap gue yang uda meninngal. Bokap nikah lagi sama Stefanie, bule asal London. Bokap and nyokap gue yang baru netep di Amrik karena urusan bisnis. Gue nggak ikut ereka, karena dari awal gue sudah nggak setuju pernikahan bokap dengan Stefanie yang matre itu. Dan disinilah gue... anak borju yang ditelantarin di Indonesia." curhatnya padaku saat di ruang tamu. Pantesan saja, semua perlengkapan furniture disini serba bintang lima, alias mewah.
    Malam kelabu, aku terdiam di kamarku memandang foto Revans. Entah kenapa rindu dan rasa bersalahku sedikit berkurang ketika aku bertemu dengan Ray. Revans kalau disana kamu tahu, disini ada orang yang mirip denganmu, apa yang akan kamu lakukan? Apakah disana kamu rela melihatku bersanding dengannya? Astaga, aku ngomong apa sich, aku nggak boleh jatuh cinta sama Ray. Titik. Aku nggak mau nasib Ray sama seperti Revans. Aku nggak mau membunuh orang lagi kalau sewaktu-waktu Ray meminta aku memfotonya.
    Dua minggu berlalu saat aku bertemu dangan Ray, aku memulai hari-hariku yang baru tanpa malaikat penjagaku, Revans. Yang tak kusangka setelah pertemuanku dengan Ray adalah, dia pindah ke Universitas yang sama denganku, dan dibagian yang sama pula. Aku tak percaya beberapa hari setelah itu, dia menembakku untuk menjadi pacarnya di muka umum. Betapa malunya aku, hinngga aku menampar pipiku sendiri berharap ini hanyalah mimpi. Tapi ternyata tidak ini nyata. Saat ini Ray sedang bersimpuh di hadapanku, menunggu jawabanku.    "Ray... aku.... Mau jadi pacar kamu..." jawabku lantang. Astaga, kenapa kata ini yang terucap, bukan kata yang sebaliknya??? Sepintas aku melihat diri Revans diantara mahasiswa yang sedang menonoton "aksi" ini. Dia tersenyum padaku. Oh, Revans apa ini yang kamu mau?
    Beberapa bulan setelah itu, Ray dan aku sedang kencan di sebuah taman kota. Entah apa hadiah yang Ray janjikan kepadaku. "Hmm... coba dech kamu buka hadiah ini." ucapnya sambil menyodorkan bingkisan merah hati. Kubuka bingkisan itu sepenuh hati dan.... Astaga, KAMERA!!! Seolah Ray tahu akan mimpi burukku, ia segera menarik tanganku ketika aku hendak melarikan diri. "Jpreet..." terdengar suara kamera bersama kilatan cahaya lampunya. Ray menekan tombol kamera itu bersamaan dengan tanganku. Aku difoto dengannya. "Aku tahu... Kamu trauma akan hasil fotomu sendiri. Kamu anggap diri kamu sendiri itu Black Angel kan. Wajah aku, mirip sama tunangan kamu dulu yang meninggal setelah kamu foto. Tapi kamu harus yakin, jodoh, kelahiran, kematian semua itu ada di tangan Allah. Allah Yang Maha Kuasa atas segalanya. Ingat itu..." ucapnya dengan pandangan lurus mentapku. Aku menangis mendengar itu semua.
    Keesokan harinya aku dan Ray pergi ke percetakan foto. Kulihat foto kami kemarin, sungguh sampai sekarang aku tidak percaya, tidak ada hal yang menyangkut maut yang terjadi pada Ray maupun aku. Revans, terima kasih kamu telah mengirimkan malaikat penggantiu kepadaku. Ray benar, semua kejadian itu adalah rencana Allah untuk mempertemukanku dengan cinta sejatiku, yaitu kamu Ray.
    "Hay, kenapa Loe menatap gue seperti itu?" ucap Ray memecahkan lamunanku.    "Enggak. Aku cuman baru sadar... kalau elo ternyata... jelk banget. Hahahaha..." tawaku meledak.
    "Dasar..." ucapnya kesal.
Well, ternyata jodoh emang nggak kemana. Buktinya saat ini aku dan Ray dalam perjalanan ke Sidney, Australia, karena Bulan Madu tentunya.
  
    
                                                                             TAMAT.

My Cerpen : Sebuah Janji


SEBUAH JANJI

          Pagi itu hujan deras mengguyur Kota Jakarta. Vea yang duduk sendiri di halte bis sedang menunggu Dean, sahabat sejatinya sejak kecil. Saat hujan seperti ini, ia teringat kenangan kecilnya dulu bersama Dean. Saat itu ia dan Dean sedang bermain di taman. Tiba-tiba hujan datang, ia dan Dean segera masuk ke dalam sebuah gasabo yang ada di taman itu. Terjadi percakapan kecil diantara mereka. "Dean... aku sedih dech. Kalau hujan seperti ini aku jadi teringat sama mama. Waktu mama meninggal karena kecelakaan, juga hujan seperti ini. "ucap gadis kecil itu. "Kamu jangan sedih, Vea. Aku kan ada disini. Aku janji akan nemenin kamu untuk selamanya."ucap bocah lugu itu kepada sahabatnya. "Benar, kamu akan nemenin aku buat selamanya? Selamanya sampai kita dewasa?"tanya gadis itu lagi. "Iya. Bahkan kalau perlu kalau kit a dewasa kita nikah saja. Kamu kalau dewasa mau kan nikah sama aku?"sahut bocah itu dan Vea hanya mengangguk menandakan jawaban setuju. "Tapi jika kamu ingkar janji gimana Dean?" ucap gadis itu kemudian."Hmm... tenang saja. Aku janji akan mengantarkan kamu ke orang yang bisa menemanimu untuk selamanya." jawab Dean singkat. Jika teringat hal itu, Vea merasa malu sendiri. Tak lama kemudian Dean datang. Akhirnya mereka berdua menaiki bis jurusan Blok M.
        Hari itu adalah hari minggu, seperti biasa Dean mengajak Vea pergi ke mall. Tapi kali ini berbeda. Sudah dua jam Vea menunggu Dean di rumahnya, tapi ia tak kunjung datang juga. Krring...krring.. bunyi telephon rumah Vea berbunyi. Segera ia angkat telephon itu, siapa tau saja dari Dean. Benar saja itu Dean. "Ve, sekarang kamu datang ke rumahku. Ku tunggu.. tut..tut..tut.." telephon itu terputus. "Ha.. ha..hallo, Dean..Dean..ha.hallo?"sahut Vea. "Kok putus sich..?" gerutu gadis itu.        Dalam sekejap ia berada di depan rumah Dean. "Deaaaaan...!!!" teriak gadis itu menerobos masuk ke dalam rumahnya. Terlihat di dalam rumah Dean suasana yang sangat ramai. Banyak para tamu yang mengenakan jas dan gaun yang cantik. Vea mencari sosok Dean. Ternyata Dean berada di tengah-tengah para tamu undangan bersama seorang gadis yang sangat cantik. "Baiklah karena seluruh para tamu undangan semua sudah hadir, mari kita mulai acara pertunangan ini. Silahkan Dean Adiyatma putra dari Bapak Andrew Adiyatma menyematkan cincin pertunangan ke jari manis Shalomete Jenneta putri dari Bapak Alexander Wijaya." ucap Mc itu. Mendengar itu semua Vea hanya terpaku. "Ya sudah, sekarang giliran Shalomete menyematkan cincin pertunangan ke jari Dean." lanjut Mc itu lagi. Tubuh Vea mati rasa tidak bisa bergerak sama sekali. Tiba-tiba air matanya keluar begitu saja tanpa diperintah. Dean melihat Vea, sorot matanya tajam dengan tatapan dingin seolah tidak perduli kehadirannya di acara itu. Vea menyanggupkan langkahnya, ia maju untuk bersalaman dengan Dean, "Selamat.." satu kata terucap dari mulut mungilnya dan kemudian pergi tanpa suara.
       Keesokan harinya Vea mendengar bahwa Dean pindah rumah ke Bandung. Begitu sakit hati Vea, meskipun Dean bukanlah pacar Vea tapi sudah sejak lama Vea memendam rasa suka itu pada Dean. 
        Tiga tahun berselang semenjak kejadian pertunangan itu. Saat ini Vea berada di hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Selatan. Ya kali ini Vealah yang bertunangan dengan laki-laki pilihan orang tuanya itu. "Baiklah kita mulai acara pertunangan ini antara Raihan Ferdinan putra dari Bapak Alana Ferdinan dengan Vea Asyarifa putri dari Bapak Farhan Fairus. Silahkan saudara Raihan menyematkan cincin pertunangan ke jari manis saudara Vea. Ya dan sekarang giliran saudari Vea yang menyematkan incin pertunangan ke jari manis saudara Raihan." sahut Mc itu. Acara pertunanagan  itu berlangsung sangat khidmat tanpa ada halang rintangan.        Tiba-tiba Vea menangkap suatu sosok yang tak asing lagi baginya. Dean. Ya sahabat sejatinya itu hadir di acara pertunangannya ini. Sungguh Vea tak percaya apa yang dilihatnya. "Selamat ya, Ve. Kuharap kamu bahagia dengan pertunangan ini." ucap Dean memberi selamat pada Vea. Vea hanya membisu mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Dean. Dean segera pergi meninggalkan tempat pertunangan itu. Vea  pergi menuju kedua orang tuanya. Ia menyampaikan bahwa ia tiba-tiba tak enak badan, ia ingin segera pulang. Dengan diantar Raihan ia pulang ke rumahnya. Pesta pertunangan itu tetap berlanjut tanpa adanya kedua anak muda itu.        Vea menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Vea menangis, dalam hatinya ia masih mencintai Dean tetapi kini ia telah bertunangan dengan orang lain. "Dean kamu jahat, kenapa kamu melakukan semua ini sama aku? Kenapa? Padahal mungkin kamu sudah tahu bahwa aku mencintai kamu, tapi kenapa kamu hadir dan memberiku selamat seperti itu? Kamu mau membuatku menyesal atas keputusanku ini?" pikir Vea di benaknya.          Enam bulan berlangsung setelah itu dan di hari ini Vea akan menikah dengan Raihan. Vea yang saat itu sedang berada di kamar pengantin melihat wajahnya di cermin. Wajahnya sangat cantik dengan riasan dengan adat Sunda. Tapi apakah keputusan yang ia ambil ini benar? Pertanyaan itu yang selalu terngiang di kepalanya. "Vea, apa kamu sudah siap? Kalau sudah ayo kita segera kita turun kebawah. Semuanya sudah menunggu kamu." ucap Fitri, kakak Vea. "Ya kak. Ayo kita turun ke bawah, Vea sudah siap" sahut Vea.
        Vea sudah berada di lantai bawah. Sungguh cantik ia dengan kebaya itu, membuat semua mata tertuju padanya. Ketika saat dimulai Ijab Kabul, tiba-tiba handphon ayah Vea berbunyi. Ternyata yang menelpon itu adalah Andrew Adiyatma, teman ayah Vea sekaligus ayah dari sahabat sejatinya. Beliau mengabarkan bahwa Dean telah meninggal dunia dikarenakan Kanker Otak stadium akhir. Mendengar itu semua Vea langsung jatuh pingsan tak sadarkan diri. Akhirnya pernikahan itu ditunda.        
        Beberapa hari setelah itu, Vea menjadi orang yang pendiam. Ia sering mengurung dirinya di kamar. Hingga suatu malam, ia terbangun dari tidurnya. Entah mengapa ia melangkahkan kakinya menuju cendela kamarnya. Ia menatap kebawah cendela itu. Ia terkejut, ia melihat apa yang seharusnya tidak terlihat lagi. Dean. Vea melihat Dean. Dari bawah Dean memanggil nama Vea. Vea bergegas menuju tempat Dean. Diluar  rumah udara sangat dingin tapi tak ia hiraukan selama ia masih bersama Dean. Dean mengajaknya berjalan-jalan menuju suatu tempat. "Dean kenapa kamu seperti ini? Kenapa kamu melakukan semua ini sama aku? Kamu sadrkan aku cinta sama kamu?" tanya Vea. Ia sadar bahwa Dean yang ada di sampingnya saat ini adalah semu. Mendengar pertanyaan itu Dean hanya tersenyum sambil terus melanjutkan perjalanannya. Vea hanya mengikuti kemana ia dibawa oleh Dean.        Mereka berdua sudah sampai di tempat tujuan. Di depan rumah Raihan. "Dean kenapa kamu bawa aku kesini?" tanya Vea. "Ve, aku bertunangan dengan Shalom itu karena aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau kamu sedih dengan tahu harapan hidup aku tinggal sedikit lagi. Aku cinta sama kamu, Ve. Dan dulu waktu kita masih kecil, aku berjanji kalaupun aku nggak bisa mendampingi kamu untuk selamanya, aku sendiri yang akan mengantarkan kamu ke orang yang bisa mencintai dan menyayangi kamu untuk selamanya. Dan orang itu Raihan." ucap Dean. Mendengar itu semua Vea menangis. "Aku janji, aku akan menyayangi dan mencintai Raihan sama seperti aku menyayangi dan cinta sama kamu Dean." janji Vea.         Setelah Vea mengucap janjinya, Dean tersenyum dan menghilang bersama dengan terbitnya mantari pagi.        "Vea, kamu sedang apa berada di depan rumahku sepagi ini?" tanya Raihan yang baru keluar dari rumahnya. Melihat Raihan, Vea segera berlari ke arahnya dan setelah sampai, ia memeluk Raihan dengan begitu eratnya. "Aku cinta dan sayang banget sama kamu, Raihan" ucap Vea dengan senyum mengembang. Raihan bingung mengapa Vea sepagi ini berada di depan rumahnya sambil bebicara seperti itu. Meskipun begitu hatinya berbunga-bunga dan ia tersenyum sambil membalas memeluk Vea.                                                                                                                    Tiga bulan seusainya, Vea dan Raihan menikah dan melangsungkan resepsi di taman sebuah apartemen yang sangat indah. Apartemen itulah yang akan menjadi tempat mereka membina rumah tangga nantinya. Vea melihat langit biru nan cerah.Terlihat di langit itu membayang wajah Dean tersenyum puas yang telah menyatukan dua insan ini. "Semoga kamu bahagia di sana... Dean." ucap Vea di dalam hati.                    
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
TAMAT.