Kamis, 11 Juli 2013

My Cerpen : Black Angel


Black Angel

    Bandung, 19 Juli 1995...    Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke tujuh. Untuk merayakannya aku, mama, papa piknik di sebuah taman yang tak jauh dari apartemen kami. Tak lupa papa dan mama membawa barang kesayangan mereka, kamera. Aku memang sangat menyukai foto-foto hasil jepretan mama dan papa. Maklum mama dan papa adalah seorang fotografer handal saat itu. Akupun jika besar nanti berencana menjadi seperti mereka, seorang fotografer.
    Hari itu aku diajari cara memfoto yang baik oleh mama dan papa dan sebagai objeknya mama dan papa sendiri. Ku hitung sampai tiga untuk memulai memfoto. Pada saat hitungan ketiga, tiba-tiba dari arah jalan raya ada sebuah truk melesat ke lajur kanan dan menabrak pembatas jalan, truk itu langsung mengarah kepada mama dan papa.
    "Jepreet...!!!" kufoto kejadian mengerikan itu. Kejadian mengerikan disaat truk itu menabrak mama dan papa hingga tewas. Tubuhku terpaku pilu, air mataku menetes dengan deras persis seperti hujan yang turun setelahnya. Bagaikan tersambar petir ribuan watt aku tak kuasa menahannya, aku pingsan. Hanya setelah itu, aku mendengar samar suara sirine mobil ambulance yang membawaku ke rumah sakit.
    Aku membuka mata. Syukurlah aku hanya bermimpi buruk. Namun takdir berkata lain, mimpi buruk itu menjelma menjadi nyata. Aku bangkit dari ranjang rumah sakit, aku bertanya pada suster yang menjagaku sedari tadi. "Suster, mama sama papa ada dimana?" tanyaku cemas. "Adik sayang... maaf ya tapi mama sama papa adik sudah meninggal, sekarang jenazahnya ada di kamar mayat di Bangsal Anggrek." jawab suster itu. Mendengar semua itu aku menangis. " Suster antarkan Angel ke mama sama papa...hiks..hiks" pintaku. Dengan sigap suster itu menuntunku ke keluar UGD.
    Dengan suster yang mengantar di belakangku, aku berlari cepat ke kamar jenazah itu. Saat aku buka pintu kamar itu, ada eyang uti yang menangis karena kepergian kedua anaknya. "Eyang..." panggilku kepada wanita yang sudah tua itu. "Angel...huhuhu" dipeluknya aku dengan erat seolah-olah ia takut aku pergi meninggalkannya juga. Aku menatap jenazah mama dan papa, aku peluk untuk yang terakhir kalinya. Begitu dingin tapi sangat nyaman. Pelukan yang menyisakan bercak darah di mantel yang kukenakan. Rasanya ingin kuulang hari dan kuperbaiki semua kenakalanku pada mama dan papa.
    Saat pemakaman, langit begitu mendung, hujan tak juga reda. Ku harus menyaksikan kedua orang yang paling kusayang terbungkus kafan dan dikubur di dalam perut bumi. Aku hanya merasakan kasih sayang mereka selama tujuh tahun, apakah salah jika aku meminta lebih? Aku menangis dalam pelukan eyang uti. Mulai sejak itu, aku berjanji akan membahagiakan eyang uti karena beliaulah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini dan juga aku akan meneruskan cita-citaku semula, menjadi fotografer profesional.Kini aku tidak lagi tinggal di apartemen mama dan papa. Aku diboyong eyang uti ke mensionnya yang ada di daerah Bandung Selatan.
       Bandung, 1 Januari 2012...    Tahun Baru yang sangat menyenangkan bersama dengan teman-teman kampusku yang lain. Kini aku berkuliah di Universitas terkemuka di Bandung jurusan Administrasi. Bukannya aku melupakan cita-citaku menjadi seorang fotografer tapi itu semua kulakukan demi eyang uti. Kematian tragis mama dan papa membuatnya tidak ingin aku menjadi seorang fotografer. Yah, bagaimanapun juga di dunia ini hanya beliau yang kumiliki satu-satunya, aku tidak ingin membuatnya kecewa dengan keputusanku. Meskipun begitu aku tetap menyukai dunia fotografer. Dengan sedikit tabunganku aku membeli sebuah kamera digital untuk menyalurkan hobiku memfoto. 
    Tapi percaya atau tidak, tanganku ini seakan membawa kunci kematian bagi orang yang kufoto. Waktu itu aku memfoto Ibu Laras tetanggaku dengan anaknya yang berusia tiga tahun. Sesaat setelah kufoto, esoknya terdengar bahwa Ibu Laras dan anaknya meninggal dunia karena tertabrak mobil saat menyebrang jalan menuju supermarket. Kemudian Pak Udin tukang ojek langganan eyang uti juga meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas setelah ia memintaku untuk memfotonya. Tak Hanya itu, bahkan Pleky anjing kesayangan Mirna, sahabatku, juga meninggal karena keracunan makanan setelah ku foto. Ku pikir semua itu hanyalah kebetulan belaka, tapi hingga suatu hari...
    "Angel sudah lama nunggunya?" tanya Revans cowok blasteran Inggris itu. "Oh, enggak kok, Vans. Batheway, loe ada apa mengajak gue ketemuan di cafe ini? Enggak biasa-biasanya." balasku. "Hmm...sebenarnya... Angel, sudah lama gue memendam rasa ini sama elo. Gue Suka dan cinta sama loe. Angel, mau nggak loe jadi pacar gue?" tanyanya penuh dengan harap. Aku nggak percaya apa yang barusan kudengar. Jujur, dari dulu aku memang suka sama Revans, tapi mendengar dia menembak aku, bener-bener seperti mimpi. "Hmm... Revans.. aku.. aku mau jadi pacar kamu." jawabku dengan senyum mengembang. Mendengar jawabanku terlihat di wajah Revans ekspresi wajah yang gembira.
    Tak sampai disitu saja, lima bulan seetelahnya aku dan Revans bertunangan. Hari itu menjadi hari yang membahagiakan dalam hidupku. Tapi semua itu tak berlangsung lama. "Angel, loe kan pintar memfoto, coba dong foto gue. Gini-gini gue mantan cover boy lho." pinta Revans. Mendengar permintaannya itu rasanya aku nggak sanggup untuk melakukannya. Aku takut kejadian buruk itu menimpanya. Tapi ia memaksa, ia ambil kameraku dan ia menyerahkannya padaku. Tanpa disengaja aku menekan tombol kamera dan memfoto wajahnya. "Ah, jelek. Ayo dong, foto gue yang bagus,  lihat gue sudah pose nih." sahutnya. Aku menangis, tak percaya apa yang telah kulakukan. "Loh, Angel. Loe kok malah nangis? Loe kenapa? Eh, Angel, loe mau kemana? tunggu Angel!!!" tanyanya. Aku berlari meninggalkannya di cafe. Aku tak tahu apa yang terjadi pada Revans setelah ini, aku takut. Aku takut kehilangan orang yang kusayang untuk kedua kalinya. Tanpa kusadari ternyata Revans mengejarku di belakang.
    Aku terus berlari hingga menyebrang jalan raya. Tak kupedulikan suara klakson dari mobil-mobil dan motor yang marah padaku karena mereka hampir menabraku saat aku asal menyebrang. Tapi ternyata benar, tanganku ini memang membawa kunci kematian. Revans tertabrak mobil saat mengejarku di jalan raya. Aku menoleh kebelakang dan kudapati tubuh Revans tergulai lemas tak berdaya di jalan. Keningnya bercucuran darah segar. "Revaaaaaaaanss............!!!" teriakku sambil berlari menghampirinya. Aku jahat, aku yang menyebabkan Revans seperti itu. Aku benci diri ini. Aku menangis diantara krumunan orang yang mencoba menolongku dan Revans.
    Ambulance akhirnya datang, paramedis mengangkat tubuh Revans ke mobil dan aku ikut serta bersamanya. "Revans... bangun... Loe nggak boleh ninggalin gue sendiri...Revans... bangun..." pintaku sambil mengobrak-obrak tubuhnya. "Angel... gue sayang banget sama elo...meskipun gue nggak ada nantinya, gue tetep ada di samping elo. Walaupun begini jadinya, gue sama sekali nggak nyesel ketemu sama elo. Karena elo malaikat kecil di hati gue untuk selamanya..." jawabnya sambil menghembuskan nafas terakhirnya. "Revaaaans........." teriakku menangisi kepergiaannya.
    Hari itu adalah hari pemakaman Revans, langit sama menangisi kepergiaannya sama sepertiku. Tapi kubiarkan senyumku menari di udara, biar semua tahu, kematian tak mengakhiri cintaku padanya. 
    Kukemudikan mobil dengan kencang, kuhentikan ditengah-tengah jembatan. "Kenapa semua ini terjadi padaku? Kenapa? Disetiap aku memfoto seseorang, orang itu kemudian meninggal, kenapa?" teriaku diantara derasnya air hujan yang mengguyur. Aku bagaikan Black Angel, malaikat hitam penjabut nyawa. Aku benci diri ini, aku benci. Yang ada di bawahku saat ini adalah sungai. Ingin rasanya aku loncat kebawah dan mengakhiri semua penderitaanku. Tapi rencana itu kuurungkan karena eyang uti. Eyang utilah alasanku satu-satunya untuk hidup di dunia ini. Aku berjalan menjauh dari pinggir jembatan. Kulihat dari kejauhan ada seorang pemuda yang berdiri di pembatas jembatan, rasanya pemuda itu ingin terjun bebas ke bawah.
    "Hey tunggu, apa yang mau loe lakuin di situ" teriaku mencegahnya kalau-kalau ia ingin lompat bunuh diri. Pemuda itu menoleh ke arahku. Astaga, wajah pemuda itu mirip sekali dengan Revans. Apa aku tidak salah lihat? pikir benakku. Aku segera berlari menghampirinya. Benar saja, jika aku terlambat semenit untuk menangkap kakinya mungkin ia sudah berhasil terjun bebas ke bawah sungai itu. "Heh, loe apa-apaan sih? Mau mati loe?" tanyaku padanya. Ia hanya menatapku dengan dingin. Tapi sungguh wajahnya sangat mirip dengan Revans, ah tidak, bukan hanya mirip tapi kembar. Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Aku yang bingung segera membawanya masuk ke dalam mobil.
    "Hai, kamu tidak apa-apa? Nama loe siapa?" tanyaku pada pemuda itu saat ia mulai sadar. "Gue di mana nich? Arggh... kepala gue pusing banget." keluh pemuda itu saat ia mencoba untuk bangkit. "Tapi, gue mau bilang terima kasih sama elo, karena uda nyelamatin hidup gue. Jujur gue tadi nggak sadar mau ngelakuin apa. Nama gue Ryan Fadillah, tapi gue biasa di panggil Ray." jawabnya kemudian. "Ryan Fadillah? Maksud loe RF? Loe RF kan? Ray Fay, DJ dari Cafee 109 Mars itu kan?" tanyaku terkejut pada pemuda itu. "Yeah... Loe adalah orang satu-satunya yang tau wajah asli gue. Karena biasanya gue nge-DJ pake topeng, males gue nunjukin muka asli, habisnya gue nggak suka di kerubutin orang banyak saat di publik." jawabnya santai. "Gue... Angel." jawabku singkat. "Btw, gimana loe bisa tahu kalau gue itu RF?" tanyanya penasaran. "Gue fotografer, dulu gue diminta sama Manager 109 Mars buat memfoto wajah asli elo. Katanya sayang, wajah cakep-cakep tapi enggak di expose." jawabku
    Malam itu, Ray kubiarkan menginap di rumah. Untungnya eyang uti sedang tidak ada di rumah, karena beliau paling tidak suka ada cowok yang menginap di rumah cewek. Paginya, aku mengantarkan Ray ke apartemennya. Bukan main, apartemen Ray bagaikan istana kerajaan sangking besarnya. "Loe... anak orang kaya ya..?" tanyaku polos. "Hahahah.... astaga loe tuch... kocak banget. Baru kali ini ada cewek yang nanya secara terang-terangan ke gue. Biasanya cewek yang gue kenal itu pura-pura modis, borju, dan segala macamlah biar gue bisa jajanin." jawabnya sambil tawa meledak. "Ih, apaan sich, kan gue cuma mau nannya." sahutku rada kesal. "Yeah... gue anak dari pengusaha furniture yang sukses di Amrik. Nama bokap gue... Andrew Fadillah. Jujur, muka loe itu, mirip banget sama nyokap gue yang uda meninngal. Bokap nikah lagi sama Stefanie, bule asal London. Bokap and nyokap gue yang baru netep di Amrik karena urusan bisnis. Gue nggak ikut ereka, karena dari awal gue sudah nggak setuju pernikahan bokap dengan Stefanie yang matre itu. Dan disinilah gue... anak borju yang ditelantarin di Indonesia." curhatnya padaku saat di ruang tamu. Pantesan saja, semua perlengkapan furniture disini serba bintang lima, alias mewah.
    Malam kelabu, aku terdiam di kamarku memandang foto Revans. Entah kenapa rindu dan rasa bersalahku sedikit berkurang ketika aku bertemu dengan Ray. Revans kalau disana kamu tahu, disini ada orang yang mirip denganmu, apa yang akan kamu lakukan? Apakah disana kamu rela melihatku bersanding dengannya? Astaga, aku ngomong apa sich, aku nggak boleh jatuh cinta sama Ray. Titik. Aku nggak mau nasib Ray sama seperti Revans. Aku nggak mau membunuh orang lagi kalau sewaktu-waktu Ray meminta aku memfotonya.
    Dua minggu berlalu saat aku bertemu dangan Ray, aku memulai hari-hariku yang baru tanpa malaikat penjagaku, Revans. Yang tak kusangka setelah pertemuanku dengan Ray adalah, dia pindah ke Universitas yang sama denganku, dan dibagian yang sama pula. Aku tak percaya beberapa hari setelah itu, dia menembakku untuk menjadi pacarnya di muka umum. Betapa malunya aku, hinngga aku menampar pipiku sendiri berharap ini hanyalah mimpi. Tapi ternyata tidak ini nyata. Saat ini Ray sedang bersimpuh di hadapanku, menunggu jawabanku.    "Ray... aku.... Mau jadi pacar kamu..." jawabku lantang. Astaga, kenapa kata ini yang terucap, bukan kata yang sebaliknya??? Sepintas aku melihat diri Revans diantara mahasiswa yang sedang menonoton "aksi" ini. Dia tersenyum padaku. Oh, Revans apa ini yang kamu mau?
    Beberapa bulan setelah itu, Ray dan aku sedang kencan di sebuah taman kota. Entah apa hadiah yang Ray janjikan kepadaku. "Hmm... coba dech kamu buka hadiah ini." ucapnya sambil menyodorkan bingkisan merah hati. Kubuka bingkisan itu sepenuh hati dan.... Astaga, KAMERA!!! Seolah Ray tahu akan mimpi burukku, ia segera menarik tanganku ketika aku hendak melarikan diri. "Jpreet..." terdengar suara kamera bersama kilatan cahaya lampunya. Ray menekan tombol kamera itu bersamaan dengan tanganku. Aku difoto dengannya. "Aku tahu... Kamu trauma akan hasil fotomu sendiri. Kamu anggap diri kamu sendiri itu Black Angel kan. Wajah aku, mirip sama tunangan kamu dulu yang meninggal setelah kamu foto. Tapi kamu harus yakin, jodoh, kelahiran, kematian semua itu ada di tangan Allah. Allah Yang Maha Kuasa atas segalanya. Ingat itu..." ucapnya dengan pandangan lurus mentapku. Aku menangis mendengar itu semua.
    Keesokan harinya aku dan Ray pergi ke percetakan foto. Kulihat foto kami kemarin, sungguh sampai sekarang aku tidak percaya, tidak ada hal yang menyangkut maut yang terjadi pada Ray maupun aku. Revans, terima kasih kamu telah mengirimkan malaikat penggantiu kepadaku. Ray benar, semua kejadian itu adalah rencana Allah untuk mempertemukanku dengan cinta sejatiku, yaitu kamu Ray.
    "Hay, kenapa Loe menatap gue seperti itu?" ucap Ray memecahkan lamunanku.    "Enggak. Aku cuman baru sadar... kalau elo ternyata... jelk banget. Hahahaha..." tawaku meledak.
    "Dasar..." ucapnya kesal.
Well, ternyata jodoh emang nggak kemana. Buktinya saat ini aku dan Ray dalam perjalanan ke Sidney, Australia, karena Bulan Madu tentunya.
  
    
                                                                             TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar