Kamis, 11 Juli 2013

My Cerpen : Binar-Binar Bintang Di Mata Mega


BINAR-BINAR BINTANG DI MATA MEGA

            Sahabat. Itulah kata yang tidak begitu Mega mengerti setelah ia kehilangan salah satu sahabatnya. Semenjak ia ditinggal pergi oleh Kafka, sahabatnya, Mega memang selalu menutup diri dari hal pergaulan. Bagi Mega, sahabat adalah seseorang yang selalu mengerti dan tak mungkin meninggalkannya. Dan semua itu terdapat pada diri Kafka. Baginya Kafka adalah sesosok kakak laki-laki yang tak pernah ia punya. Kafka selalu ada untuk Mega kapanpun dan dimanapun Mega ingin bercerita tentang isi hatinya. Tapi kepergian Kafka untuk selamanya, telah mengubah pikiran Mega bahwa sahabat adalah orang yang sama seperti yang lain. Tidak perlu di istimewakan karena nantinya ia juga akan meninggalkannya.
            Pagi itu di SMU Pekerti Luhur, suasana masih sepi. Hanya terdapat beberapa anak yang sedang bermain bola di lapangan becek karena terguyur hujan semalaman. Dari ayunan pohon, Mega menatap anak-anak itu. Pikirannya kosong entah kemana. Ditambah lagi, hembusan angin musim penghujan membuat mukanya pucat pasi karena kedinginan. Mega memang tak mengenakan jaket ataupun sweter. Yang ia inginkan saat itu adalah ketenanngan sebelum dimulainya rutinitas pagi, meskipun udara sedang tak bersahabat.
            Mega baru tersadar dari lamunannya ketika bola menyentuh ujung sepatunya dengan pelan. Saat itu pula, ia melihat Bintang berlari-lari kecil ke arahnya. Mega mengambil bola itu dan menyerahkannya ke Bintang, sesampainya pemuda gagah itu ditempatnya.
            “Terima Kasih, Ga. Lho, kamu kok tidak masuk kelas? Disini udaranya dingin lho. Nanti kamu bisa sakit, apalagi kamu tidak memakai jaket.”
            “Hmm,.. iya. Aku hanya ingin mencari ketenangan saja sebelum pelajaran dimulai. Supaya segar pikiranku. Kamu sama teman-teman kamu juga tidak memakai jaket. Tidak takut sakit?”
            “Hahaha, kami laki-laki sudah biasa. Malah bermain bola saat hujan-hujan atau cuaca seperti ini seru lho. Kalian saja para gadis yang terlalu rentan. Jadinya tidak bisa            menikmati asyiknya bermain saat cuaca gerimis seperti ini.”
            “Ih, kamu ini. Kami bukannya rentan tapi mencegah. Daripada nanti sakit, lebih baik ditunda dulu saja bermainnya. Lagi pula, jarang anak perempuan suka bermain bola.”
            “Ya-ya, terserah kamu.”
            Bintang berlalu seiringnya bel sekolah berbunyi. Begitupula dengan Mega, ia juga beranjak dari ayunan itu. Tapi langkah Mega terhenti tak jauh dari ayunan yang baru saja ia tinggalkan. Ia menoleh ke belakang, menoleh tepat ke ayunan itu. Sekelebat ingatan tentang Kafka yang duduk di situ dengan membaca buku fisika, membayang di pikiranya. Tanpa ia control, sebutir air bening turun menetes dari mata kanannya. Ia menangis. Tanpa pikir panjang ia segera menghapus air mata itu dan berlari ke arah kelas.
            Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Dewanti. Beliau mengajar mata pelajaran kimia. Bu Dewanti memang terkenal sebagai guru paling tegas dan disiplin di SMU Pekerti Luhur. Wajar jika semua anak akan segera masuk ke dalam kelas begitu bel berbunyi dan tidak membuat gaduh bila sang guru mengajar.
            Selama pelajaran, Mega hanya termangu memandang ke luar jendela. Ia melamun memandang hamparan pohon rimbun di halaman sekolahnya. Rasanya, tenang sekali melihat dedaunan dan ranting-ranting pohon itu bergerak melambai di tiup angin. Melihat itu semua, Mega jadi merindukan kehadiran Kafka. Mega tahu kebiasaan sahabatnya itu. Kafka sangat suka sekali dengan ketenangan.  Ia jadi berpikir, apakah Kafka juga merindukannya di alam sana? Entahlah. Semua itu hanya Kafka sendiri dan Tuhan yang tahu.
            Mega kaget mendapat sepucuk surat di lokernya saat ia hendak mengambil buku catatan kimia yang akan dipinjam Santi temannya. Surat itu berwarna krem dengan spidol tinta biru sebagai warna tulisannya. Mega membuka surat itu. Kemudian mata teduhnya membacanya dengan perlahan.
            “Yang Terindah, Mega,.
            Mega. Kau seindah mega bertabur bintang di langit. Namun kini kulihat, binar-binar bintang yang ada di matamu telah sirna. Kau kemanakan mereka? Apakah kau  membuangnya? Ku harap tidak. Jika kau kehilangan binar-binar itu, aku bersedia untuk menjadi penggantinya. Pengganti sebagai binar bintang yang akan bersinar  terang, menerangi setiap langkahmu. Jika kau ingin tahu siapa aku, sepulang sekolah pergilah ke taman sekolah tempat dimana ayunan pohon berada. Disitu kau akan  menemukanku.”
            Itulah isi surat yang dibaca Mega. Sungguh saat itu juga ia menjadi penasaran. Siapakah gerangan yang mengiriminya surat itu? Apakah sebelumnya ia mengenalnya? Apa yang dipikirkan si pengirim surat tentangnya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergulat di pikirannya. Andai waktu berjalan dengan cepat, pasti sekarang ia sudah bertemu dengan pengirim surat itu.
            Jam menunjukan pukul dua siang, itu berarti waktunya pulang sekolah. Dengan cepat Mega berjalan menuju ayunan pohon yang ada di taman sekolah. Dilihatnya sesosok pemuda yang duduk di ayunan itu.
            “Bintang..? Sedang apa kamu di sini, apa kamu yang mengirimi aku surat?”
            “Benar sekali. Jujur saja ya, Ga. Aku tahu kamu sangat sedih atas kematian Kafk karena kecelakaan motor, tapi hal itu jangan membuatmu terus terpuruk. Aku juga       sahabat Kafka, aku juga sedih atas kematiannya. Tapi, aku harus bangkit. Aku yakin, diatas sana Kafka akan sedih melihat kita yang terus bermuram muka karena dia sudah  tiada.”
            “Bintang, asal kamu tahu saja. Aku juga sangat ingin lepas dari rasa sedihku atas    Kafka. Tapi aku tidak bisa. Persahabatan kita bertiga sudah terjalin selama dua belas tahun lamanya, akankah kamu bisa melupakan semua kenangan itu? “
“Aku tahu perasaan sedihmu.Mungkin aku juga tidak akan bisa melupakan kenanangan selama dua belas tahun itu. Tapi apakah dengan bermuram muka setiap lari akan mengembalikan Kafka dari kematian? Tidak Mega, tidak. Kafka tidak akan pernah kembali. Mega, kamu jangan bersedih lagi. Masih ada aku. Aku juga sahabatkamu bukan?”
            “Kamu memang sahabat aku, Bintang. Sahabat jika kamu tidak meninggalkanku seperti Kafka. Dia jahat bintang, dia jahat. Dia berjanji untuk memenangkan lomba debat itu bersama kita, tapi nyatanya dia malah meninggalkan kita.”
“Baiklah jika kamu mau Kafka bersama kita saat lomba. Satu minggu lagi, saat lomba, kupastikan Kafka ikut dalam lomba itu. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Cuaca semakin gerimis. Besok Hari Minggu aku akan ke rumahmu, kita latihan di sana.”
Setelah itu, Bintang meninggalkan Mega diantara butiran-butiran air hujan yang jatuh ke bumi. Mega melihat punggung Bintang yang perlahan kian tenggelam diantara kerumunan anak-anak pulang sekolah yang berlari kecil karena gerimis.
Panas. Entah mengapa hati Mega begitu panas. Melihat ekspresi Bintang yang begitu kesal padanya. Apakah ia telah menyakiti hati Bintang? Mega tidak bisa berpikir dengan jernih. Keputusannya untuk pulang dengan jalan kaki di tengah gerimisnya hujan telah membekukan pikirannya. Sebenarnya ia bisa saja pulang dengan angkot atau bis, tapi cara itu tidak dipilihnya. Ia berharap dengan gerimis hujan yang mengguyur tubuhnya dapat memadamkan hatinya yang panas.
Hari itu adalah Hari Minggu. Bintang menepati janjinya untuk melakukan latihan lomba dabat di rumah Mega. Ia memberitahu Mega bahwa Bu Karin, Guru Bahasa Indonesia mereka, mengijinkan kalau hanya dua orang saja yang mengikuti lomba debat. Awalnya, lomba itu diperuntukan untuk tiga orang, tetapi karena Kafka sudah tiada maka hanya mereka yang mewakili SMU Pekerti Luhur dalam ajang prestasi itu. Sedangkan untuk mencari anggota lain, sudah tidak ada waktu mengingat lomba akan diadakan satu minggu lagi.
Tema debat yang diperlombakan adalah “Veteran Indonesia Menangis Karena Anak Muda Jaman Sekarang.”. Karena tema yang diperlombakan adalah patriotisme, maka mereka harus banyak-banyak membaca buku tentang jiwa kepahlawanan dan sosial. Sebenarnya Mega masih penasaran dengan perkataan Bintang yang akan membawa Kafka kembali pada mereka tapi ia tahu bahwa semua itu tidak mungkin. Ingin rasanya ia menanyakan hal itu pada Bintang tapi kelihatannya ia sedang serius menyiapkan bahan untuk debat.
Hari Minggu itu berlalu dengan cepat. Tak terasa matahari telah berada di ufuk barat. Kala itu mereka berdua telah berada di beranda rumah Mega. Rasanya, sapuan angin sepoi-sepoi yang menerpa muka mereka menghadirkan kembali rasa yang hampir terbuang semenjak kepergian Kafka. Rasa nyaman diantara orang-orang yang menyayangi diri kita apa adanya, membuat hidup ini sangat indah. Itulah yang dirasanakn Mega dan Bintang. Mereka tak ingin hubungan persahabatan mereka yang terjalin selama dua belas tahun, hilang ditelan waktu begitu saja. Kalau bisa, nanti jika masing-masing sudah berkeluarga mereka akan tetap mempertahankan persahabatan diantara keduanya.
Tak terasa hari perlombaan yang ditunggu-tunggu kini sudah hadir di depan mata. Bintang dan Mega berusaha mati-matian untuk menambah skor nilai mereka dalam babak penyisihan agar nantinya lolos ke semi final dan final. Hingga akhirnya babak demi babak dilalui dan sampailah mereka dibabak final.
Puncaknya, kedua anak muda itu sangat tidak setuju atas tanggapan dari perwakilan SMA Bina Karya. Lawan mereka beranggapan bahwa kasus seperti tawuran pelajar dan demo-demo anarkis itu hanya dipicu dari ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan layanan dan fasilitas pada pelajar pada umumnya, sehingga terdapat sejumlah pelajar saling mengejek dan terjadilah tawuran antar pelajar.
“Tetapi kita tidak boleh hanya menyalahkan pemerintah saja. Apalagi itu hanya terpacu pada fasilitas sekolah. Kita juga harus menanamkan sikap patriotisme dan   jiwa kepahlawanan lebih intentsif pada pelajar. Mereka juga harus tahu bagaimanapara veteran dan pahlawan-pahlawan dulu berjuang mati-matian demi kemerdekaan Indonesia. Percuma saja jika fasilitas sudah terlengkapi tetapi pada dasarnya pelajar tersebut tidak mempunyai sikap dan etika yang baik.”
“Benar apa yang dikatakan rekan saya, Bintang. Para pelajar tidak boleh melupakan perjuangan para veteran tersebut. Di saat mereka berfoya-foya dengan uang jajan dan video game sehingga mereka melupakan tugasnya, yaitu sekolah, di pihak lain terdapat  sejumlah veteran yang hidup dengan susah. Mereka harus mengemis terlebih dahulu untuk bisa makan sesuap nasi.”
            Dengan dua jawaban maut itulah, Mega dan Bintang berhasil membawa pulang piala kemenangan dan mengharumkan sekolah mereka. Di sela-sela selesainya perlombaan, Bintang mengajak Mega untuk pergi ke suatu tempat. Mereka berdua pergi ke Taman Segitiga.
            Taman Segitiga adalah tempat dimana Kafka, Mega, dan Bintang bermain bersama ketika SD. Saat Mega bertanya apa yang mau mereka lakukan di taman itu, Bintang hanya tersenyum kecil sambil menunjukan sebuah foto. Itu adalah foto lama. Foto mereka bertiga ketika pertama kali berhasil membawa piala kemenangan lomba debat, meskipun perlombaan itu hanyalah perlombaan satu sekolah saja.
Saat itu mereka bertiga masih duduk di bangku kelas tiga SD. Demi memperingati Bulan Bahasa, kurikulum sekolah mereka mengadakan lomba antar kelas, yaitu lomba debat. Hampir setiap hari mereka selalu latihan di Taman Segitiga itu.
“Ingatkah kamu tentang itu, Ga? Ini yang kumaksud dengan membawa Kafka hadir di engah-tengah kita saat lomba tadi. Dari dulu kita bertiga selalu bersama. Tapi kini        tinggal kita berdua. Jadi dengan foto itu,  aku berharap akan menjadi pelengkap Kafka diantara kita. Sebagai pelengkap penyemangat hari-hari kita. ”
“Bintang,.. Aku tidak menyangka kamu masih menyimpan foto itu. Foto itu adalahkenangan terindah yang pernah terjadi diantara persahabatan kita sewaktu SD.” Ucap Mega sambil menatap dalam-dalam foto itu, matanya yang teduh nampak berkaca-kaca.
“Ya, aku cuman ingin mengembalikan senyumu sama seperti dulu. Sama ketikaKafka belum meninggal dunia. Aku hanya ingin kamu sadar, bahwa masih ada aku. Aku sadar kamu lebih sering mencurahkan isi hati kamu pada Kafka daripada denganku. Aku hampir saja sempat berpikir, bahwa hanya Kafka yang menjadi sahabatmu, tidak denganku. Tapi kenyataannya aku juga sahabatmu, Ga. Kita   bersahabat.” Ungkap Bintang lirih.
“Aku,..Aku minta maaf. Mungkin kamu benar, aku hanya terpaku pada Kafka tanpa memikirkan perasaanmu. Mulai sekarang aku berjanji, tidak akan ada rahasia diantara kita. Kita sahabat selamanya, janji?” lanjut Mega lagi sambil menunjukan kelingkingnya.
Hal itu dibalas Bintang dengan menggaet kelingking Mega dengan kelingking miliknya. Tak lama kemudian, tawa meledak diantara keduanya. Dan kini binar-binar bintang di mata Mega telah muncul kembali, sama seperti dulu.
“Tuh kan, apa aku bilang. Aku Bintang yang akan mengembalikan binar-binar        bintang di matamu. Benar bukan? HAHAHAHAHAHAHA..!!!”
Senja kala itu, sungguh membawa kedamaian bagi Mega dan Bintang. Mereka duduk di rumput taman sambil menatap indahnya matahari terbenam. Warna langit begitu indahnya. Biasan warna merah keemasan, sungguh merupakan lukisan Tuhan terindah untuk dunia. Saat semilir angin mendera wajah mereka dengan lembut, keduanya menutup mata. Mereka mengucapkan suatu permohonan dalam hati masing-masing.
“Tuhan, jadikan persahabatan ini indah selamanya. Dan satu lagi, semoga kamu      bahagia di sana,….. Kafka…”
TAMAT.

2 komentar:

  1. it's so good story..... :)

    Thanks Kakak..... :)

    BalasHapus
  2. PlayOJO Casino: Get the best welcome bonus for South Africa
    Sign up for 성남 출장안마 PlayOJO 태백 출장안마 Casino and receive a 100% up 통영 출장마사지 to R2,000 and 150 Free Spins at your registration. 경주 출장안마 The bonus you will receive when 상주 출장안마 you register

    BalasHapus