BINAR-BINAR BINTANG DI MATA MEGA
Sahabat. Itulah
kata yang tidak begitu Mega mengerti setelah ia kehilangan salah satu
sahabatnya. Semenjak ia ditinggal pergi oleh Kafka, sahabatnya, Mega memang
selalu menutup diri dari hal pergaulan. Bagi Mega, sahabat adalah seseorang
yang selalu mengerti dan tak mungkin meninggalkannya. Dan semua itu terdapat
pada diri Kafka. Baginya Kafka adalah sesosok kakak laki-laki yang tak pernah
ia punya. Kafka selalu ada untuk Mega kapanpun dan dimanapun Mega ingin bercerita
tentang isi hatinya. Tapi kepergian Kafka untuk selamanya, telah mengubah
pikiran Mega bahwa sahabat adalah orang yang sama seperti yang lain. Tidak
perlu di istimewakan karena nantinya ia juga akan meninggalkannya.
Pagi itu di SMU Pekerti Luhur, suasana masih sepi. Hanya
terdapat beberapa anak yang sedang bermain bola di lapangan becek karena
terguyur hujan semalaman. Dari ayunan pohon, Mega menatap anak-anak itu.
Pikirannya kosong entah kemana. Ditambah lagi, hembusan angin musim penghujan
membuat mukanya pucat pasi karena kedinginan. Mega memang tak mengenakan jaket
ataupun sweter. Yang ia inginkan saat itu adalah ketenanngan sebelum dimulainya
rutinitas pagi, meskipun udara sedang tak bersahabat.
Mega baru tersadar dari lamunannya ketika bola menyentuh
ujung sepatunya dengan pelan. Saat itu pula, ia melihat Bintang berlari-lari
kecil ke arahnya. Mega mengambil bola itu dan menyerahkannya ke Bintang,
sesampainya pemuda gagah itu ditempatnya.
“Terima Kasih, Ga. Lho, kamu kok tidak masuk kelas? Disini
udaranya dingin lho. Nanti kamu bisa sakit, apalagi kamu tidak memakai jaket.”
“Hmm,.. iya. Aku hanya ingin mencari ketenangan saja
sebelum pelajaran dimulai. Supaya segar pikiranku. Kamu sama teman-teman kamu
juga tidak memakai jaket. Tidak takut sakit?”
“Hahaha, kami laki-laki sudah biasa. Malah bermain bola
saat hujan-hujan atau cuaca seperti ini seru lho. Kalian saja para gadis yang
terlalu rentan. Jadinya tidak bisa menikmati
asyiknya bermain saat cuaca gerimis seperti ini.”
“Ih, kamu ini. Kami bukannya rentan tapi mencegah. Daripada
nanti sakit, lebih baik ditunda dulu saja bermainnya. Lagi pula, jarang anak
perempuan suka bermain bola.”
“Ya-ya, terserah kamu.”
Bintang berlalu seiringnya bel sekolah berbunyi.
Begitupula dengan Mega, ia juga beranjak dari ayunan itu. Tapi langkah Mega
terhenti tak jauh dari ayunan yang baru saja ia tinggalkan. Ia menoleh ke
belakang, menoleh tepat ke ayunan itu. Sekelebat ingatan tentang Kafka yang
duduk di situ dengan membaca buku fisika, membayang di pikiranya. Tanpa ia
control, sebutir air bening turun menetes dari mata kanannya. Ia menangis.
Tanpa pikir panjang ia segera menghapus air mata itu dan berlari ke arah kelas.
Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Dewanti. Beliau
mengajar mata pelajaran kimia. Bu Dewanti memang terkenal sebagai guru paling
tegas dan disiplin di SMU Pekerti Luhur. Wajar jika semua anak akan segera
masuk ke dalam kelas begitu bel berbunyi dan tidak membuat gaduh bila sang guru
mengajar.
Selama pelajaran, Mega hanya termangu memandang ke luar
jendela. Ia melamun memandang hamparan pohon rimbun di halaman sekolahnya.
Rasanya, tenang sekali melihat dedaunan dan ranting-ranting pohon itu bergerak
melambai di tiup angin. Melihat itu semua, Mega jadi merindukan kehadiran
Kafka. Mega tahu kebiasaan sahabatnya itu. Kafka sangat suka sekali dengan
ketenangan. Ia jadi berpikir, apakah
Kafka juga merindukannya di alam sana? Entahlah. Semua itu hanya Kafka sendiri
dan Tuhan yang tahu.
Mega kaget mendapat sepucuk surat di lokernya saat ia hendak
mengambil buku catatan kimia yang akan dipinjam Santi temannya. Surat itu
berwarna krem dengan spidol tinta biru sebagai warna tulisannya. Mega membuka
surat itu. Kemudian mata teduhnya membacanya dengan perlahan.
“Yang Terindah, Mega,.
Mega. Kau seindah mega bertabur bintang di langit. Namun
kini kulihat, binar-binar bintang yang ada di matamu telah sirna. Kau kemanakan mereka? Apakah kau membuangnya? Ku harap
tidak. Jika kau kehilangan binar-binar itu, aku bersedia untuk menjadi penggantinya. Pengganti sebagai
binar bintang yang akan bersinar terang, menerangi setiap langkahmu. Jika kau ingin tahu siapa aku, sepulang
sekolah pergilah ke taman
sekolah tempat dimana ayunan pohon berada. Disitu kau akan menemukanku.”
Itulah isi surat yang dibaca Mega. Sungguh saat itu juga
ia menjadi penasaran. Siapakah gerangan yang mengiriminya surat itu? Apakah
sebelumnya ia mengenalnya? Apa yang dipikirkan si pengirim surat tentangnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergulat di pikirannya. Andai waktu berjalan dengan
cepat, pasti sekarang ia sudah bertemu dengan pengirim surat itu.
Jam menunjukan pukul dua siang, itu berarti waktunya
pulang sekolah. Dengan cepat Mega berjalan menuju ayunan pohon yang ada di
taman sekolah. Dilihatnya sesosok pemuda yang duduk di ayunan itu.
“Bintang..? Sedang apa kamu di sini, apa kamu yang
mengirimi aku surat?”
“Benar sekali. Jujur saja ya, Ga. Aku tahu kamu sangat
sedih atas kematian Kafk karena kecelakaan motor, tapi hal itu jangan membuatmu
terus terpuruk. Aku juga sahabat
Kafka, aku juga sedih atas kematiannya. Tapi, aku harus bangkit. Aku yakin,
diatas sana Kafka akan sedih melihat kita yang terus bermuram muka karena dia sudah tiada.”
“Bintang, asal kamu tahu saja. Aku juga sangat ingin
lepas dari rasa sedihku atas Kafka.
Tapi aku tidak bisa. Persahabatan kita bertiga sudah terjalin selama dua belas
tahun lamanya, akankah kamu bisa melupakan semua kenangan itu? “
“Aku
tahu perasaan sedihmu.Mungkin aku juga tidak akan bisa melupakan kenanangan
selama dua belas tahun itu. Tapi apakah dengan bermuram muka setiap lari akan
mengembalikan Kafka dari kematian? Tidak Mega, tidak. Kafka tidak akan pernah
kembali. Mega, kamu jangan bersedih lagi. Masih ada aku. Aku juga sahabatkamu
bukan?”
“Kamu memang sahabat aku, Bintang. Sahabat jika kamu
tidak meninggalkanku seperti Kafka. Dia jahat bintang, dia jahat. Dia berjanji
untuk memenangkan lomba debat itu bersama kita, tapi nyatanya dia malah
meninggalkan kita.”
“Baiklah
jika kamu mau Kafka bersama kita saat lomba. Satu minggu lagi, saat lomba,
kupastikan Kafka ikut dalam lomba itu. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Cuaca semakin gerimis. Besok Hari Minggu aku
akan ke rumahmu, kita latihan di sana.”
Setelah
itu, Bintang meninggalkan Mega diantara butiran-butiran air hujan yang jatuh ke
bumi. Mega melihat punggung Bintang yang perlahan kian tenggelam diantara
kerumunan anak-anak pulang sekolah yang berlari kecil karena gerimis.
Panas.
Entah mengapa hati Mega begitu panas. Melihat ekspresi Bintang yang begitu
kesal padanya. Apakah ia telah menyakiti hati Bintang? Mega tidak bisa berpikir
dengan jernih. Keputusannya untuk pulang dengan jalan kaki di tengah gerimisnya
hujan telah membekukan pikirannya. Sebenarnya ia bisa saja pulang dengan angkot
atau bis, tapi cara itu tidak dipilihnya. Ia berharap dengan gerimis hujan yang
mengguyur tubuhnya dapat memadamkan hatinya yang panas.
Hari
itu adalah Hari Minggu. Bintang menepati janjinya untuk melakukan latihan lomba
dabat di rumah Mega. Ia memberitahu Mega bahwa Bu Karin, Guru Bahasa Indonesia
mereka, mengijinkan kalau hanya dua orang saja yang mengikuti lomba debat.
Awalnya, lomba itu diperuntukan untuk tiga orang, tetapi karena Kafka sudah
tiada maka hanya mereka yang mewakili SMU Pekerti Luhur dalam ajang prestasi
itu. Sedangkan untuk mencari anggota lain, sudah tidak ada waktu mengingat
lomba akan diadakan satu minggu lagi.
Tema
debat yang diperlombakan adalah “Veteran Indonesia Menangis Karena Anak Muda
Jaman Sekarang.”. Karena tema yang diperlombakan adalah patriotisme, maka
mereka harus banyak-banyak membaca buku tentang jiwa kepahlawanan dan sosial.
Sebenarnya Mega masih penasaran dengan perkataan Bintang yang akan membawa
Kafka kembali pada mereka tapi ia tahu bahwa semua itu tidak mungkin. Ingin
rasanya ia menanyakan hal itu pada Bintang tapi kelihatannya ia sedang serius
menyiapkan bahan untuk debat.
Hari
Minggu itu berlalu dengan cepat. Tak terasa matahari telah berada di ufuk
barat. Kala itu mereka berdua telah berada di beranda rumah Mega. Rasanya,
sapuan angin sepoi-sepoi yang menerpa muka mereka menghadirkan kembali rasa
yang hampir terbuang semenjak kepergian Kafka. Rasa nyaman diantara orang-orang
yang menyayangi diri kita apa adanya, membuat hidup ini sangat indah. Itulah
yang dirasanakn Mega dan Bintang. Mereka tak ingin hubungan persahabatan mereka
yang terjalin selama dua belas tahun, hilang ditelan waktu begitu saja. Kalau
bisa, nanti jika masing-masing sudah berkeluarga mereka akan tetap
mempertahankan persahabatan diantara keduanya.
Tak
terasa hari perlombaan yang ditunggu-tunggu kini sudah hadir di depan mata.
Bintang dan Mega berusaha mati-matian untuk menambah skor nilai mereka dalam
babak penyisihan agar nantinya lolos ke semi final dan final. Hingga akhirnya
babak demi babak dilalui dan sampailah mereka dibabak final.
Puncaknya,
kedua anak muda itu sangat tidak setuju atas tanggapan dari perwakilan SMA Bina
Karya. Lawan mereka beranggapan bahwa kasus seperti tawuran pelajar dan
demo-demo anarkis itu hanya dipicu dari ketidakmampuan pemerintah untuk
memberikan layanan dan fasilitas pada pelajar pada umumnya, sehingga terdapat
sejumlah pelajar saling mengejek dan terjadilah tawuran antar pelajar.
“Tetapi
kita tidak boleh hanya menyalahkan pemerintah saja. Apalagi itu hanya terpacu
pada fasilitas sekolah. Kita juga harus menanamkan sikap patriotisme dan jiwa kepahlawanan lebih intentsif pada
pelajar. Mereka juga harus tahu bagaimanapara veteran dan pahlawan-pahlawan
dulu berjuang mati-matian demi kemerdekaan Indonesia. Percuma saja jika fasilitas
sudah terlengkapi tetapi pada dasarnya pelajar tersebut tidak mempunyai sikap
dan etika yang baik.”
“Benar
apa yang dikatakan rekan saya, Bintang. Para pelajar tidak boleh melupakan
perjuangan para veteran tersebut. Di saat mereka berfoya-foya dengan uang jajan
dan video game sehingga mereka melupakan tugasnya, yaitu sekolah, di pihak lain
terdapat sejumlah veteran yang hidup
dengan susah. Mereka harus mengemis terlebih dahulu untuk bisa makan sesuap
nasi.”
Dengan dua jawaban maut itulah, Mega dan Bintang berhasil
membawa pulang piala kemenangan dan mengharumkan sekolah mereka. Di sela-sela
selesainya perlombaan, Bintang mengajak Mega untuk pergi ke suatu tempat.
Mereka berdua pergi ke Taman Segitiga.
Taman Segitiga adalah tempat dimana Kafka, Mega, dan
Bintang bermain bersama ketika SD. Saat Mega bertanya apa yang mau mereka
lakukan di taman itu, Bintang hanya tersenyum kecil sambil menunjukan sebuah
foto. Itu adalah foto lama. Foto mereka bertiga ketika pertama kali berhasil
membawa piala kemenangan lomba debat, meskipun perlombaan itu hanyalah
perlombaan satu sekolah saja.
Saat
itu mereka bertiga masih duduk di bangku kelas tiga SD. Demi memperingati Bulan
Bahasa, kurikulum sekolah mereka mengadakan lomba antar kelas, yaitu lomba
debat. Hampir setiap hari mereka selalu latihan di Taman Segitiga itu.
“Ingatkah
kamu tentang itu, Ga? Ini yang kumaksud dengan membawa Kafka hadir di
engah-tengah kita saat lomba tadi. Dari dulu kita bertiga selalu bersama. Tapi
kini tinggal kita berdua. Jadi
dengan foto itu, aku berharap akan
menjadi pelengkap Kafka diantara kita. Sebagai pelengkap penyemangat hari-hari
kita. ”
“Bintang,..
Aku tidak menyangka kamu masih menyimpan foto itu. Foto itu adalahkenangan
terindah yang pernah terjadi diantara persahabatan kita sewaktu SD.” Ucap Mega
sambil menatap dalam-dalam foto itu, matanya yang teduh nampak berkaca-kaca.
“Ya,
aku cuman ingin mengembalikan senyumu sama seperti dulu. Sama ketikaKafka belum
meninggal dunia. Aku hanya ingin kamu sadar, bahwa masih ada aku. Aku sadar
kamu lebih sering mencurahkan isi hati kamu pada Kafka daripada denganku. Aku
hampir saja sempat berpikir, bahwa hanya Kafka yang menjadi sahabatmu, tidak
denganku. Tapi kenyataannya aku juga sahabatmu, Ga. Kita bersahabat.” Ungkap Bintang lirih.
“Aku,..Aku
minta maaf. Mungkin kamu benar, aku hanya terpaku pada Kafka tanpa memikirkan
perasaanmu. Mulai sekarang aku berjanji, tidak akan ada rahasia diantara kita. Kita sahabat selamanya, janji?” lanjut
Mega lagi sambil menunjukan kelingkingnya.
Hal
itu dibalas Bintang dengan menggaet kelingking Mega dengan kelingking miliknya.
Tak lama kemudian, tawa meledak diantara keduanya. Dan kini binar-binar bintang
di mata Mega telah muncul kembali, sama seperti dulu.
“Tuh
kan, apa aku bilang. Aku Bintang yang akan mengembalikan binar-binar bintang di matamu. Benar bukan?
HAHAHAHAHAHAHA..!!!”
Senja
kala itu, sungguh membawa kedamaian bagi Mega dan Bintang. Mereka duduk di
rumput taman sambil menatap indahnya matahari terbenam. Warna langit begitu
indahnya. Biasan warna merah keemasan, sungguh merupakan lukisan Tuhan terindah
untuk dunia. Saat semilir angin mendera wajah mereka dengan lembut, keduanya
menutup mata. Mereka mengucapkan suatu permohonan dalam hati masing-masing.
“Tuhan,
jadikan persahabatan ini indah selamanya. Dan satu lagi, semoga kamu bahagia di sana,….. Kafka…”
TAMAT.
it's so good story..... :)
BalasHapusThanks Kakak..... :)
PlayOJO Casino: Get the best welcome bonus for South Africa
BalasHapusSign up for 성남 출장안마 PlayOJO 태백 출장안마 Casino and receive a 100% up 통영 출장마사지 to R2,000 and 150 Free Spins at your registration. 경주 출장안마 The bonus you will receive when 상주 출장안마 you register