Jumat, 12 Juli 2013

My Cerpen : Lilin


LILIN
            Kemilau Cahaya Gadis, selalu menjadi acuan para lelaki setiap malamnya. Malam-malam kelabu, hingar-binar kota biru, selalu menjadi kasurnya. Tak sedikit yang protes padanya… “Jangan ganggu suami gue…” tapi semua itu selalu dihiraukannya. Yang terpenting baginya adalah Lilin. Lilin kecil yang menerangi setiap jalan yang dipijakinya, Lilin yang mampu membuat hidupnya “bercahaya” seperti namanya. Tak peduli ia kehilangan semuanya asalkan ia bisa tetap mempertahankan Lilin itu menyala. Semua itu bermula saat lima tahun yang lalu.
“Akang, akang sudah berjanji akan menikahi Aya. Mana janji akang? Kenapa sekarang akang malah menikahi Sinta anaknya Pak Kades, kenapa kang? Aya hamil kang.” Jerit tangis seorang gadis bekepang dua. “Heh, aku mau menikahi Sinta, atau siapapun gadis di desa ini, itu hak aku tahu. Kamu tak berhak melarang-larang aku.” Jawab enteng seorang berundal jalanan. “Tapi waktu itu akang sudah janji. Akang sudah janji saat pertama kali Aya melayani akang.” sakit hati itu kian membesar. “Khekhekhe… Dasar bocah lugu. Dibohongi begitu saja kamu mau, hahahaha… Asal kamu tahu ya, aku maunya itu punya isteri yang suci, nggak kayak kamu.” Lelaki itu terkekeh.
“Tapi akang yang pertama kali…” jawabnya membela diri yang terlanjur ternoda.
”Hah, sudah. Kamu pergi sana. Buktinya kamu mau, berarti kamu sudah pernah melakukannya dengan yang lain. “ tukas sang pembual.
Tubuh gadis itu terusir dari desa, karena dianggap penuh dosa. Padahal dalam rahimnya telah tumbuh “Lilin” penerang dunia tanpa dosa. Langkah kaki telah membawanya ke ibu kota, tempat dimana ia menjadi sumur terhina di dunia fana. Ia tak peduli pada hinaan atau cercaan padanya ketika ia menjajahkan tubuhnya di pinggir jalan, toh baginya ia sudah tak gadis lagi.
Sembilan bulan telah berlalu, kini tubuh gadis itu berada di puskesmas pinggiran ibu kota. “Selamat bu, bayinya perempuan, sehat.” Kata seorang suster. “Mana, sus saya mau lihat.” Kata sang ibu penuh keringat. Setelah melihat bayinya sang ibu diam seribu bahasa. Ia seperti melihat Kang Sunarwan-orang yang telah manghamilinya-dalam diri bayi itu. “Mau diberi nama siapa bu, bayinya?” tanya sang suster pada saat menulis papan nama bayi. “Lilin… saya mau memberi bayi itu nama Lilin.” Jawab sang ibu datar.
Beberapa hari setelahnya, gadis itu membawa bayinya ke tempat di mana ia tinggal.Pedih hatinya melihat sang buah hati harus tinggal di tempat seperti itu, tapi apa yang ingin diraih apabila tangan tak sampai? Cahaya atau akrab dipanggil Aya adalah gadis miskin dari desa dengan satu anak tanpa suami. Apa yang bisa ia raih dengan hanya menggunakan ijazah sma di kota besar itu? Nyatanya nihil. Yang hanya bisa ia lakukan adalah menjajahkan tubuhnya dipinggir jalan berharap ada yang mau memakannya.
“Sayang, mama pulang. Apa Lilin kecil mama sudah makan?” tanya  sang ibu kepada anaknya. “Mama..mama..! Mama kerjanya apaan sich?” tanya sang anak dengan wajah polos. “Sayang, kenapa Lilin bertanya seperti itu sama mama?” balas sang ibu, takut kalau-kalau anaknya tahu apa yang selama ini ia kerjakan. “Lilin diberi pr sama bu guru di sekolah. Prnya itu disuruh menggambar pekerjaan ayah atau ibunya. Berhubung Lilin nggak punya ayah, jadi Lilin mau menggambar mama.”. Mendengar jawaban keluar dari mulut anaknya, sang ibu memutar otak, jawaban apa yang harus ia berikan kepada anaknya. “Sayang, mama kerjanya sebagai pelayan di restoran. Kerjaan mama melayani tamu yang hendak makan di restoran. Jadi mengantar makanan dan minuman gitu. Yauda sayang, mama mau mandi dulu. Lilin menggambar mamanya yang bagus ya.” Jawab sang ibu miris membohongi anaknya. “Ok ma!” sahut sang anak kembali.
Di kamar, Aya menangis. Di kehidupan nyata ialah yang menjadi makanan lelaki hidung belang. Ia sendiri yang menjadi pelayan yang mengantarkan tubuhnya menjadi semakin hina dan kotor. Di ambilnya sebuah foto di bawah bantal. “Kang Sunarwan, kenapa akang tega sama Aya?! Lihat kang, anak kita sudah besar sekarang. Apa akang nggak mau memeluk dan memberi kasih sayang buat anak kita itu, kang.” derai air kembali membanjiri matanya. Tapi pikiran baru mulai muncul dibenaknya, “Jangan bodoh Aya! Akangmu itu sudah tak mau peduli sama kamu, buktinya saat kamu diusir dari desa, dia malah ikut menendangmu dengan keras. Mana mungkin ia juga peduli pada anak yang telah dikandungmu?!!” pikiran itu membelit bdan membuatnya menjadi sesak nafas.
Rumahnya serasa bagaikan istana penuh dusta. Dinding-dinding berdiri kokoh yang dibangun dengan keringat bersama serigala kemunafikan. Perabot-perabot yang berasal dari erangan sapi betina setiap malamnya. Untunglah cahaya di rumah itu berasal dari lilin suci yang begitu terang menyilaukan.
Kini, Aya sudah tidak lagi tinggal di tempatnya dulu. Sekarang ia bisa membangun rumah impiannya sendiri walaupun rumah itu begitu sederhana apa adanya. Di bangun di lingkungan yang baik untuk lilin penerang dunia yang dicintainya. Meskipun tak jera ia setiap malamnya kembali ke lembah nista penuh lumpur dosa.
Hingga di suatu pagi, ia seakan mendapati tubuhnya kaku tak berdaya bagaikan mati. Tak percaya apa yang ada di hadapannya, seperti serigala yang sedang mengincar domba. Dan ialah domba itu. “Kang Sunarwan.” Ucapnya kepada laki-laki berpotongan klemis bak arjuna. “Cahaya.” Balasnya mengenali lekuk tubuh sang masa lalu. “Kamu toh, Aya. Saya kira siapa. Ayo mas, ngapain kita bengong disini sama Aya. Mending kita belanja.” ucap sang isteri sinis.
Tiba-tiba, “Bruk..” suara barang saling bertubrukan. “Maaf tante, Lilin nggak sengaja.” Rengek minta maaf gadis kecil. “Aduh…!!! Dasar anak nakal. Nih lihat baju mahal saya jadi kotor kena ice cream kamu. Huh, sini biar saya kasih pelajaran kamu.” keluh Sinta, isteri sunarwan. Jika saja Aya terlambat menahan tamparan Sinta kepada buah hatinya, mungkin pipi yang merah berbekas tangan itu sudah ada di pipi anaknya. “Aya, apa-apaan kamu belain anak kecil ini?” tanya Sinta terheran. “Sinta, seharusnya kamu tahu dia ini cuma anak kecil. Lagi pula bukan salah dia menabrak kamu, aku lihat sendiri, kamu yang menabrak anak ini saat hendak mau pergi.” Jawabnya membela sang anak.
“Mama…mama! Mama nggak kenapa-napa kan? Lilin salah ya ma? Maafin Lilin ya ma..” tanya sang anak kepada induknya.
“Enggak sayang, mama baik-baik saja kok.”
“Oh, rupanya anak ini anak kamu toh Aya. Pantes kelakuannya sama seperti ibunya.”
“Sinta, kamu boleh aja ngehina aku atau nyakitin aku. Tapi jika kamu menyakiti anak aku, aku nggak segan-segan melawan kamu. Ayo Lilin sayang, kita pergi.” ucapan bagai tameng pelindung akhirnya keluar juga, bersama menghilangnya tubuh indah itu di keramaian pusat perbelanjaan kota.
Dalam perjalanan pulangnya, Sunarwan gundah gulana memikirkan gadis kecil itu bersama wanita masa lalunya. Di pikirannya ia memprediksi umur gadis itu sekitar lima tahunan. Dan jika benar, berarti apakah gadis kecil itu buah hatinya yang tak ia akui selama ini? Pikiran akan rasa bersalahnya membawanya mengingat bahwa selama lima tahun perkawinannya dengan Sinta belum juga dikaruniai seorang anak. Dengan mudah ia mengangkat telephon dan menyewa detektif swasta untuk melacak dimana keberadaan Aya dan anaknya.
Satu minggu kemudian, detektif swasta sewaannya telah menemukan tempat tinggal wanita masa lalunya itu. Segera ia menuju kesana.
Pintu diketuk dan dari dalam terbuka. Sungguh tak disangka kenangan masa lalu penuh luka ada di hadapan mata. “Kang Sunarwan, sedang apa akang di sini?” tanya Aya setelah ia mempersilahkan pujaan hatinya dulu, masuk kedalam rumah. “Lilin… Gadis itu apakah … ia buah hati kita, Aya?” tanya Sunarwan to the point. Terlihat ada ekspresi kaget di wajah Aya, sejenak ia berpikir Sunarwan akan kembali kepelukannya dan menceraikan Sinta. Dan mereka akan hidup bahagia bersama dengan Lilin. “Kenapa akang bertanya begitu?” tanya sang gadis menunggu pujaan hatinya menjawab. “Aku ingin minta maaf kepadamu dan kalau benar… aku akan mengakuinya sebagai anak dan membawanya ke rumah. Sinta akan menjadi ibunya. Karena jujur, selama lima tahun pernikahan, kami belum juga dikaruniai seorang anak. Oh ya tentu, kamu juga bisa menengoknya kapan pun kamu mau. Bukankah jika hidup bersamaku masa depan anak itu akan cerah?” pupus sudah harapan yang ada di hadapan Aya setelah ia mendengar jawaban sang pujaaan hati. “Apa akang bilang?! Akan membawa Lilin pergi dari aku? Nggak akan pernah Aya biarkan. Lilin itu anak Aya. Aya ibunya bukan Sinta atau siapapun. Lagi pula siapa bilang Lilin itu anak akang, anak akang yang ada di rahim Aya sudah usir dia sebelum dia lahir. Aya sudah menggugurkan anak itu, agar waktu itu akang puas.” Balas Aya dengan nada keras berteriak.
“Itu nggak mungkin. Aku yakin Lilin itu anak aku. Usianya mungkin sekitar lima tahunan, sama persis sewaktu kamu diusir dari desa.” Sahut Sunarwan tak mau kalah.
“Khekhekhe…”
“Kenapa kamu tertawa, hah?”
“Kalau kamu menyesal aku telah menggugurkan anak kita, kenapa dulu kamu tak mau bertanggung jawab terhadapku, hah? Kenapa? Kamu malah meninggalkanku dan menikah dengan Sinta. Tuhan Maha Adil, ia tak memberikanmu keturunan sebagai balasan atas apa yang telah kamu perbuat selama ini kepadaku. Dulu kamu mencampakan aku dan calon anak kita dan sekarang kamu menyesal menikah dengan Sinta.” Jawab Aya dengan senyum mengembang seraya mengejek.
“Aya aku tahu, aku salah, aku khilaf. Aku telah mencampakanmu dan calon bayi kita. Tapi aku yakin, kamu nggak akan sampai hati untuk menggugurkan anak itu. Dan aku tahu anak kita itu Lilin, kan. Mana dia, aku akan memeluknya dan membawanya ke rumah.” Balas Sunarwan seraya hendak akan menggeledah rumah Aya. Tapi dengan dorongan Aya yang kuat, ia terjengkal ke belakang dan terduduk di sofa. “Jangan harap kamu bisa bawa Lilin dari aku. Langkahi dulu mayatku jika kamu ingin membawanya dan menggantikan aku dengan Sinta sebagai ibunya.” Sang ibu mencoba melindungi anaknya.
“Kamu benar-benar …”
“Ceraikan Sinta dan menikah denganku jika kamu benar-benar menginginkan anak itu, yang padahal kamu tahu bukan darah dagingmu.” Potong Aya. Sebuah kesepakatan maut yang tak bisa adilakukan Sunarwan untuk menceraikan isterinya.
“Kamu sudah gila.”
“Kamu yang gila, mau memisahkan anak dari ibu kandungnya sendiri. Bawa surat perceraianmu ke rumah ini, nikahi aku, baru kamu punya hak atas anak itu. Sekarang keluar dari rumahku.” Balas Aya tegas.
Setelah kepulangan Sunarwan, Aya menangis sejadi-jadinya di kamar. Dilihatnya dan diciuminya kening Lilin yang tak berdosa itu. Dulu memang ia mengharapkan bahwa pujaan hatinya itu mau menerima dan mengakui Lilin sebagai anaknya, tapi kini tidak lagi. Ia tak mau mengharapkan Sunarwan membawa Lilin pergi jauh darinya.
“Kamu sehabis dari mana saja mas, kok pulangnya malam. Atau jangan-jangan kamu habis dari rumah gadis kampung itu ya. Mas, jawab!” bentak sinta kepada suaminya.
“Argh… Cukup Sinta!!! Selama ini kamu aku biarkan mengatur-atur aku, tapi sekarang aku sudah muak. Sudah lima tahun Sinta, lima tahun. Tapi dirahimu belum juga ada keturunanku. Memang aku sehabis dari rumah Aya. Disana ada anakku, anak yang dulunya tidak aku akui, dan sekarang aku menyesal. Aku menyesal telah memilih kamu ketimbang Aya yang sudah melahirkan anakku. Aku pokonya mau cerai. Soal harta gono-gini kita bisa bicarakan dengan pengacara kita masing-masing.” Jawab Sunarwan tak mau kalah dengan Sinta sambil berlalu meninggalkannya.
“Mas, mas tunggu,… kita bisa bicarakan ini, mas..” kini suara yang tadinya bentakan berubah menjadi rengekan dan tangisan.
Esoknya, Sunarwan tak main-main dengan ucapannya. Ia menyerahkan surat pengajuan cerai ke pihak pengadilan. Tepatnya ke Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sidang pengadilan akan dilaksanakan sebulan lagi. Seusainya mengurus surat perceraian, Sunarwan segera pergi menuju rumah Aya. Ia sudah tak sabar ingin memeluk Lilin dan mengakuinya sebagai anaknya.
Sunarwan seperti biasanya, langsung to the point. Saat pintu dibuka, dengan langsung ia memberitahukan pada Aya bahwa ia akan menceraikan Sinta. Betapa kagetnya ia mengetahui hal tersebut. Ada satu hal yang ada di hati Aya, ‘Apakah hal ini benar?’. Aya memang hina karena memang ia menjajahkan tubuhnya di pinggir jalan, tapi sungguh ia tak sehina itu untuk merusak rumah tangga orang. Waktu itu Aya hanya ingin mempermainkan Sunarwan karena hal yang telah laki-laki itu perbuat dulu padanya. Ia tak sampai hati jika memang Sunarwan benar menceraikan Sinta untuk bersama dengannya lagi.
“Maaf mas, tapi Aya tidak mau. Sampai kapanpun jangan harap Lilin bisa menjadi anaknya Mas Sunarwan, meskipun Mas sudah menceraikan Sinta.  Waktu itu aku hanya ingin mempermainkan mas saja. Ternyata Mas Sunarwan dari dulu sama saja hingga sekarang, selalu mempermainkan wanita. Aya benci akang.”
Brrakk,….
Pintu ditutup dengan kasar. Aya kemudian berlari menuju kamarnya, menuju Lilin yang menerangi hatinya. Cukup satu penerang dalam dalam hatinya, yaitu buah cintanya. Berapa banyakpun uang yang diberikan Sunarwan, begitupun dengan janji-janjinya, Aya tak akan mudah tertipu lagi. Ia bukanlah Aya yang dulu, yang polos. Apalagi ini melibatkan Lilin, anaknya.
Hari telah subuh, Aya membangunkan Lilin anaknya untuk bergegas mandi dan berganti pakaian. Ini adalah hari istimewa. Hari dimana Aya yakin tak akan ada lagi masalah tentang dirinya dan juga Kang Sunarwan. Ya, ia akan membawa Lilin pergi jauh dari sana, dari kota itu. Ia tak akan menjadi Aya Sang Pemuas lagi, Aya yang itu sudah mati mulai hari ini.
Aya sudah menjual rumah itu. Rencana ini sudah Aya susun semenjak ia bertemu  dikembali dengan Sunarwan serta Sinta. Semenjak saat itu, ia mulai mempunyai firasat yang buruk. Benar saja, Sunarwan ingin membawa Lilin. Uang hasil jual rumahnya sudah ia dapat. Dengan uang itu di tambah dengan uang hasil tabungannya yang lain, mungkin Aya bisa membuat usaha home industry untuk menghidupi kebutuhan Aya dengan Lilin di kota yang baru.
Sejenak, Aya menoleh pada rumahnya…
“Selamat tinggal Kang Sunarwan.. Apabila nanti kau tiba disini, Lilin itu telah ku bawa pergi. Karena lilin ini berbeda dengan lilin-lilin lainnya yang muda padam apabila terkena angina maupun air. Ia Lilin istimewa yang akan terus menerangi setiap langkah hidupku…”
TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar